Kali ini, saya akan mengulas salah satu produk first class yang sekarang cukup langka yaitu Thai Airways first class dari Tokyo (NRT) ke Bangkok (BKK).
Thai Airways first class sendiri merupakan salah satu alternatif apabila Anda ingin terbang dengan first class intra-Asia dari/ke Jepang selain Japan Airlines ke Bangkok (BKK) atau Singapore Airlines ke Singapura (SIN).
Ini adalah penerbangan ke-11 dari seri 14 penerbangan dalam perjalanan saya keliling dunia di bulan Agustus 2023.
Walaupun lembar tiketnya sudah ada dari beberapa bulan sebelumnya demi ANA first class, segmen penerbangan ini baru dipesan secara manual melalui telepon/chat kurang lebih 2 minggu sebelum saya terbang sebagai bagian dari perjalanan saya dari Honolulu (HNL) ke Jakarta (CGK).
Penerbangan ini sendiri membutuhkan 167.500 KrisFlyer miles + entahlah berapa pajak dan fuel surcharge yang sulit dilacak karena tiketnya sendiri sudah diganti berkali-kali.
Apabila dipesan sendiri, penerbangan ini memerlukan 77.000 KrisFlyer miles + ฿5.625 (~Rp2.450.000) atau mulai dari Rp34.000.000 kalau menggunakan cash rate. Jadi, minimal saya mendapatkan valuasi penukaran Rp410/mile.
Sebelum Berangkat
Karena saya memulai perjalanan ini dari Honolulu (HNL), proses check-in sendiri dilakukan di bandara Honolulu (HNL) dimana tas saya diarahkan sampai ke Bangkok (BKK) sesuai permintaan saya setelah ditawarkan oleh staf check-in (dalam arti, ditanya mau di-tag sampai mana tasnya karena perjalanannya yang panjang).
Berikut pas naik (boarding pass) saya untuk penerbangan dari Honolulu (HNL) ke Bangkok (BKK) di atas stok kertas ANA; pas naik saya untuk penerbangan kali ini berada di tengah.
Salah satu keunikan bandara Tokyo (NRT) adalah fitur transit bebas pemeriksaan bagi penumpang yang baru tiba dari Amerika Serikat. Karena penerbangan saya sebelumnya dari Honolulu (HNL), saya bisa langsung mulai mencari lounge.
Sebagai penumpang first class, saya bisa memasuki ANA Suite Lounge, lounge tertinggi ANA di Tokyo (NRT) yang akan saya ulas terpisah.
Setelah mengunjungi ANA Suite Lounge saya perlu berpindah bagian terminal untuk menuju ke gerbang keberangkatan.
Karena ANA Suite Lounge berada di sekitar area gerbang 50-an dan saya akan terbang dari gerbang 41, saya bisa menggunakan jalan pintas di bawah tanah alih-alih memutar lewat area pertokoan utama.
Saat saya tiba di gerbang keadaannya sudah cukup kacau, dimana ada banyak yang berkumpul di sana, termasuk sedikit drama ketika 2 penumpang first class di-downgrade ke kelas bisnis karena kursinya rusak.
Penerbangan ini dioperasikan oleh Boeing 777-300ER dengan nomor registrasi HS-TTA, yang saat itu berumur 2 tahun. Ini merupakan 1 dari 3 pesawat Thai Airways yang memiliki kabin first class.
Proses naik pesawat baru dimulai 30 menit setelah jadwal keberangkatan awal dengan lajur prioritas bagi penumpang first class.
Setidaknya garbarata depan hanya dipakai untuk proses naik pesawat bagi penumpang first class.
Sesaat setelah itu saya tiba di pintu kiri depan dan akhirnya memulai pengalaman terbang di Thai Airways first class.
Di Dalam Penerbangan
Perkenalan Kursi
Di penerbangan kali ini saya duduk di kursi 2A, kursi suite terbuka lorong sekaligus jendela.
Thai Airways merupakan maskapai yang cukup unik untuk memasang kursi suite terbuka di kabin first class baru, dimana hampir semua kursi first class modern sudah setidaknya tertutup.
Ruang kakinya sendiri cukup longgar ke depan, walaupun lebarnya sendiri tentu tidak selebar di Japan Airlines first class karena ada lemari.
Seperti kursi first class pada umumnya, di depan kursi terdapat ottoman yang bisa juga digunakan sebagai tempat duduk pendamping.
Ottoman tersebut juga berfungsi sebagai tempat penyimpanan tertutup seperti di Lufthansa first class. Walaupun begitu, ini bukan untuk tas berukuran besar – koper carry-on bisa dimasukkan di rak bagasi di atas kabin.
Di samping kursi sendiri terdapat tempat penyimpanan kecil.
Di tengah area tepi jendela terdapat meja kecil yang menyimpan meja dan juga rak bacaan dibawah.
Untuk area yang tidak terganggu proses buka tutup meja, terdapat meja minuman kecil. Kendali kursi sendiri bisa juga ditemukan di sebelahnya.
Kendali kursinya sendiri relatif standar, walaupun tentu di pabrik kursinya ada yang bermimpi Thai Airways memiliki suite tertutup seperti kebanyakan first class lain.
Di sebelah meja minuman terdapat port earphone noise-cancelling dan juga USB-A.
Remote hiburan dan tempat penyimpanan kecil (cukup untuk kacamata) bisa ditemukan di sebelah tempat duduk.
Tempat penyimpanan paling besar di kursi ini berada di sebelah kursi, yang bisa juga ditutup.
Partisi kecil disediakan untuk menghalangi pandangan dari lorong; untuk penumpang di kabin bagian tengah, partisi yang lebih besar juga disediakan untuk membatasi area antarkursi.
Selain itu, terdapat juga lampu baca di dinding kursi, walaupun sayangnya tidak ada katup pendingin udara di sini.
Lemari di sisi lorong sendiri merupakan lemari standar dengan gantungan baju seperti di Garuda Indonesia first class.
Amenity yang disediakan di penerbangan ini berupa sandal, amenity kit dari Porsche Design, headphone, dan juga terdapat air mineral dari Acqua Panna.
Di kursi sendiri sudah disediakan headphone noise-cancelling, yang suaranya cukup baik namun ukurannya sedikit terlalu kecil untuk saya gunakan.
Di kantong bacaan terdapat majalah, kartu petunjuk keselamatan, dan petunjuk Wi-Fi yang berbayar bahkan di first class.
Salah satu tradisi yang sangat penting di tiap ulasan saya adalah foto saya dengan kursinya. Kabin Thai Airways first class sendiri bisa dibilang relatif terbuka dengan partisi yang relatif rendah (tidak serendah Lufthansa atau Qatar Airways first class), dan memiliki bentuk yang konvensional.
Penerbangan
Begitu saya memfoto kursi saat di awal, awak kabin yang mengantarkan saya pun menawarkan untuk memfoto saya saat duduk di kursi tersebut.
Sesaat kemudian saya ditawarkan minuman selamat datang. Seperti saat saya terbang di Lufthansa first class, sampanye yang ditawarkan di penerbangan ini adalah Laurent-Perrier Grand Siecle. Karena sampanye yang sama juga disajikan sebagai pilihan minuman selamat datang (welcome drink), ini tentu menjadi pilihan saya.
Beberapa saat kemudian saya diberikan handuk basah dan coklat.
Salah satu tradisi saat terbang di first class jarak menengah adalah baju tidur, jadi saya pun diberikan baju tidur dari Boggi Milano.
Menu tidak dibagikan pada penerbangan ini, namun hanya dipinjamkan (dan ya, hanya ini menunya; tidak ada menu lagi untuk minuman).
Penerbangan ini terlambat selama kira-kira 1 jam, yang saya gunakan untuk melihat koleksi musik klasik (yang menjadi standar ulasan saya di PinterPoin), dan sayangnya koleksinya termasuk cukup pelit.
Video petunjuk keselamatan ditayangkan saat kami mulai meninggalkan gerbang.
Lampu kabin diredupkan sebelum lepas landas.
Setelah menyusuri bandara Tokyo (NRT), kami akhirnya lepas landas.
Saat saya menunggu makan malam dihidangkan, saya sempat memeriksa Wi-Fi yang ditawarkan.
Walaupun tidak terlalu mahal, namun tidak ada opsi Wi-Fi gratis sama sekali bahkan bagi penumpang first class, jadi kali ini belum saya ulas (FYI, sudah saya periksa di penerbangan Thai first class berikutnya di bulan depannya, dan hasilnya pelan).
30 menit setelah lepas landas layanan makan malam dimulai dengan amuse bouche yang sangat bernuansa Jepang meskipun di maskapai Thailand.
Set meja untuk makan malam pun dipasang dan hidangan pembuka disajikan.
Saya memilih set menu Jepang sebagai hidangan utama pertama, yang juga disajikan dengan teh Jepang “ocha”. Berbeda dengan di first class maskapai Jepang, hidangan kecil pembuka (“Zensai”) dihidangkan bersamaan dengan hidangan panas utama.
Ketika saya berujar bahwa nasi di set hidangan utama Jepang cukup keras, saya akhirnya diberikan set hidangan utama gaya Thailand dengan bebek, udang goreng, kapri, dan lalapan khas Thailand.
Saya bingung memilih minuman anggur mana untuk menemani piring variasi keju saya (dan ingat, tidak ada menu minuman), jadi awak kabin pun membawakan 2 wine: Saint Aubin Premier Cru Au Pied du Mont Chauve “Le Chamoix” 2014 dan Saint-Émilion Grand Cru Chateau Grand Corbin 2014.
Piring variasi keju dan buah pun disajikan dengan biskuit kemasan dan selai. Saya masih ingin mencoba penutupnya, namun perut saya sudah berkata lain.
Makan malam saya selesai kurang lebih 1 jam 40 menit setelah lepas landas. Berikut menu makan malamnya untuk penerbangan kali ini:
- Amuse: Disajikan bersamaan: (dipilih)
- Tusuk sate daun bawang dibungkus daging sapi asap dengan wasabi
- Cumi-cumi kunang-kunang masak gaya “kamaage” dengan saus miso mustard dan bawang prei,
- Variasi kacang campur dengan kismis
- Pembuka: Disajikan bersamaan: (dipilih)
- Udang masak “sous vide” dan timun dengan saus krim lemon basil dan telur ikan lumpfish
- Paha ayam masak “sous vide” dengan saus jamur
- Hidangan utama: Pilih satu dari:
- Bebek panggang kare merah dengan nasi putih Thailand, udang goreng bawang, dan kapri tumis bawang (dipilih)
- Steak “Wagyu” dengan saus armagnac, kentang duchess (kentang tumbuk dengan kuning telur dan mentega dipanggang), wortel panggang madu, dan bayam masak mentega
- Bento berisi variasi lauk Jepang, ikan kurisi kukus dengan saus, kulit tahu, lobak putih, bayam rebus, nasi putih Jepang, dan sup miso (dipilih)
- Roti: Pilih apapun dari:
- Roll bekatul
- Roti bawang
- Roll tepung beras
- Grissini
- Keju dan buah: Piring variasi keju dengan buah segar, buah kering, kacang, dan biskuit, (dipilih)
- Penutup: Pilih apapun dari:
- Es krim vanilla dengan saus coklat dan remah-remah kuki
- Kue wagashi
- Kue stroberi
- Minuman: Bervariasi, non-alkohol atau alkohol
Walaupun pelayanan sepanjang makan malam sendiri cukup bagus, masalah saya adalah kualitas makanannya yang kurang memadai.
Selain presentasi yang relatif ala kadarnya (lihat saja sup miso di hidangan utama), variasi dalam makanannya sendiri yang kurang dan rasa makanan yang agak hambar (selain set hidangan Thailand, yang rasa pedasnya cukup kuat) membuat makan malam ini kurang menarik.
Makan malam tersebut secara keseluruhan bisa saja saya anggap bagus di kelas bisnis, tapi masih agak jauh dari terasa first class. Kembali lagi, makanan di ANA Suite Lounge juga tidak sampai ke level lounge first class maskapai lain, jadi tidak terlalu beda apakah Anda naik pesawat dalam keadaan lapar atau kenyang.
Akhir makan malam menandakan saatnya saya tidur, tapi tidak sebelum memeriksa kamar kecil terlebih dahulu. Kamar kecilnya sendiri cukup luas, seperti standar kamar kecil kabin first class Boeing 777 di maskapai lain, dan dilengkapi dengan beberapa amenity dari Payot.
Sebelum ke kamar kecil saya meminta tolong untuk mengubah kursi saya menjadi kasur, yang jadi dalam waktu tidak terlalu lama.
Kalau Anda berharap matras setebal di Qantas first class, di sini bukan tempatnya; bahkan lebih tipis dari matras Japan Airlines first class di rute serupa yang setidaknya bisa dipilih keras atau lembutnya.
Setidaknya kasurnya cukup luas untuk saya berguling sedikit, dan saya tidur selama 2 jam.
Oh, dan sebelum tidur saya memeriksa peta terlebih dahulu, yang sayangnya kurang bisa diutak-atik dan pesawatnya masih polos.
20 menit sebelum mendarat saya kembali diberikan handuk dan juga kenang-kenangan berupa coklat Thailand dari Kad Kokoa.
Di saat yang sama kabin pun mulai dipersiapkan; nampak juga salah satu kursi dengan meja yang rusak sebagai penyebab downgrade di awal.
Berkat cuaca yang cukup cerah, pemandangan sekitar Bangkok bisa nampak jelas saat kami turun.
Seperti biasa, lampun kembali diredupkan saat akan mendarat.
Proses pendaratan berlangsung lancar dan hanya beberapa menit setelah itu kami akhirnya parkir di gerbang D3 kira-kira 40 menit terlambat dari jadwal awal.
Di bandara Bangkok (BKK), gerbang D adalah kelompok gerbang “terbaik” karena lokasinya yang dekat imigrasi, pertokoan, dan lounge.
Sama seperti di Tokyo (NRT), proses turun pesawat dilakukan dari pintu depan.
Saya ditemui oleh salah satu petugas darat, yang kemudian mengantarkan saya ke gedung terminal untuk bertemu dengan pendamping (escort) saya.
Kedatangan
Karena penerbangan yang terlambat, langsung terdapat cukup banyak papan informasi bagi penumpang yang akan (atau sudah) tertinggal penerbangan lanjutan.
Saya tidak tahu apa ekspektasi saya terlalu tinggi dari escort, tapi saya merasa escort Thai Airways hampir tidak bermanfaat selain untuk membawakan tas, dan ujung-ujungnya hanya terasa seperti saya berjalan beriringan mengikuti ke area pengambilan bagasi 😉
Prosesnya (dan jalan kaki saya) secepat itu, saya masih perlu menunggu 5 menit sampai tas pertama keluar.
Tas saya tiba beberapa detik setelah tas pertama dalam keadaan memiliki tag first class ganda (dari ANA dan Thai Airways; jauh lebih eksklusif dari tag United “Premier Access” yang ada di hampir setengah tas yang keluar setelah penerbangan ANA ke Jakarta).
Escort saya membawa troli berisi tas saya menuju pintu keluar bandara melewati bea cukai.
Thai Airways tidak menyediakan airport transfer bagi penumpang first class, jadi saya masih perlu memesan taksi online untuk pergi menuju Grand Mercure Bangkok Asoke Residence, di mana saya menginap malam itu sebelum melanjutkan perjalanan ke Yangon (RGN).
Kesimpulan
Walaupun belum menjadi produk yang aspirasional, Thai Airways first class merupakan cara paling praktis untuk terbang di first class dari/ke Jepang.
Dengan adanya award first class “Saver” baik di rute ini maupun Osaka (walaupun relatif sedikit), Thai Airways menjadi salah satu opsi bagi Anda yang ingin terbang dengan first class ke Jepang tanpa harus mengeluarkan banyak KrisFlyer miles.
Thai Airways first class memang tidak akan memenangkan penghargaan first class terbaik dengan suite terbuka yang sederhana dan hidangan yang terasa agak seperti di kelas bisnis, namun pelayanan yang cukup baik dan ditambah dengan layanan pendamping di bandara Bangkok (BKK) memberikan keunikan tersendiri dan masih menunjukkan tanda “niat” memiliki produk first class bahkan walaupun hanya ada di 3 pesawat.
Saya masih menyarankan Anda untuk mencoba Thai Airways first class, baik sebagai salah satu opsi jawaban “cara dapat first class Saver ke Jepang”, atau hanya untuk sekedar mencoba penerbangan di first class yang kini semakin langka.
halo pak eric, review yang menarik dan saya sangat berminat coba penerbangan ini.
pada baris ke 3 terdapat tulisan “Walaupun lembar tiketnya sudah ada dari beberapa bulan sebelumnya demi ANA first class, segmen penerbangan ini baru dipesan secara manual melalui telepon/chat kurang lebih 2 minggu sebelum saya terbang sebagai bagian dari perjalanan saya dari Honolulu (HNL) ke Jakarta (CGK).”
apakah flight ini dapat dilakukan dengan redeem point sq pada partner star alliance di web sq?
Halo,
Bisa, tapi penukaran di web Singapore Airlines hanya bisa untuk penerbangan 1x jalan nonstop (baca: tidak bisa dirangkaikan dengan penerbangan saya ke Yangon berikutnya atau dari Honolulu sebelumnya).