Salah satu penerbangan unik yang saya coba dalam perjalanan kali ini adalah QantasLink dari Darwin (DRW) ke Dili (DIL), yang merupakan penerbangan internasional terpendek Qantas, di kelas ekonomi.
Ini adalah penerbangan ke-16 dari seri 26 penerbangan saya dalam rangka double round the world saya di bulan Maret dan April 2024.
Saya memesan penerbangan ini di situs Qantas 4 minggu sebelum jadwal penerbangan dengan membayar 8.000 poin Qantas + biaya dan pajak A$126,04 (~Rp1.300.000).
Alternatifnya, tiket ini bisa dipesan dengan harga mulai dari Rp4.080.000 (harga 1x jalan saat dipesan jauh di awal), sehingga penukaran ini memberikan valuasi sebesar Rp347/mile; lebih dari 2x lipat valuasi poin Qantas menurut PinterPoin.
Sebelum Berangkat
Saya tiba di terminal bandara Darwin (DRW) 1 jam 10 menit sebelum jadwal keberangkatan menggunakan shuttle dari Mercure Darwin Airport Resort.
Proses check-in dan pencetakan tag bagasi dilakukan di kios alih-alih konter manual. Saya sudah melakukan proses check-in online, jadi saya tinggal perlu mencetak tag bagasi di situ.
Karena saya sudah melakukan proses check-in online, berikut pas naik (boarding pass) digital saya.
Bahkan untuk penerbangan internasional proses bag drop juga dilakukan secara swalayan dengan kios.
Saya memasang sendiri tag bagasi di koper sebelum menaruhnya di tempat drop bagasi swalayan, yang juga menerbitkan tag tas berat. Tag tas berat tersebut sayangnya tidak terdeteksi oleh kiosnya, jadi saya harus meminta bantuan petugas sebelum bisa melanjutkan perjalanan.
Kalau dibilang apakah Qantas pelit menerbitkan kertas untuk menempel tag bagasi, jawabannya, “Memang” – saya akhirnya menempelkan tag pengenal bagasi di gagang tas kabin.
Semua penumpang dan pengunjung bandara Darwin (DRW) wajib melewati pemeriksaan standar domestik dulu, dan sesudah itu saya tiba di area transit umum, yang digunakan untuk penerbangan domestik.
Bandara Darwin (DRW) tidak melayani banyak penerbangan internasional, jadi alih-alih memiliki alur pemrosesan (apalagi terminal) yang sepenuhnya terpisah seperti di Sydney (SYD), pemeriksaan tambahan dilakukan setelah pemeriksaan keamanan domestik.
Proses pemeriksaan sendiri cukup cepat, dan setelah itu saya melewati toko bebas bea sebelum akhirnya bisa tiba di ruang tunggu.
Ruang tunggu internasional sendiri sangat sederhana dengan hanya ada kursi-kursi dan juga 1 restoran. Kembali lagi, bandara Darwin (DRW) tidak memiliki banyak penerbangan internasional, sehingga ini pun sudah cukup untuk 1 pesawat berbadan sempit.
Penerbangan kali ini dioperasikan oleh pesawat Embraer E190 (dioperasikan oleh Alliance Airlines) dengan nomor registrasi VH-UZF yang saat itu sudah berumur 15 tahun.
Berikut denah kursi untuk penerbangan ini.
Seperti kebiasaan saat terbang di kelas ekonomi, saya lebih memilih untuk masuk pesawat saat sudah panggilan terakhir, dan tentunya gerbangnya sudah sepi.
Setelah panggilan terakhir diumumkan saya baru melewati gerbang dan melanjutkan naik pesawat lewat garbarata.
Saya tidak perlu mengantre dan tiba di pesawat setelah melewati garbarata.
Di Dalam Penerbangan
Perkenalan Kursi
Saya duduk di kursi 5A, kursi kelas ekonomi jendela standar.
Ruang kaki di kursi ini cukup standar. Seperti kursi kelas ekonomi sederhana pada umumnya, di bawah kursi hanya terdapat kantong bacaan dan belum ada stopkontak USB/AC.
Walaupun mejanya tidak dapat disesuaikan, kelebihan meja di penerbangan ini adalah ukurannya yang besar.
Bacaan di penerbangan ini terdiri dari majalah maskapai, kartu petunjuk keselamatan, dan kantong mabuk udara.
Sesuai tradisi di semua ulasan saya, berikut foto saya di kursi tersebut dengan sandaran kepala dinaikkan.
Penerbangan
Seperti standar di pesawat berbadan sempit, di atas kursi terdapat lampu baca dan katup pendingin udara.
Kami mulai mundur untuk meninggalkan terminal menuju landasan pacu relatif tepat waktu.
Saat kami mulai mundur, petunjuk keselamatan didemonstrasikan secara manual.
Lampu kabin seperti biasa diredupkan untuk persiapan lepas landas. Oh, dan bicara tentang kabin kelas bisnis, seperti keluarga pesawat Bombardier CRJ yang memiliki kabin kelas ekonomi dalam konfigurasi 2-2, pesawat ini juga memiliki kabin kelas bisnis dengan kursi recliner standar dalam konfigurasi 1-2 (sebut saja, beda dengan maskapai yang tidak niat memiliki kelas bisnis CRJ).
Dengan muatan yang relatif ringan, lepas landas berlangsung relatif cepat dan kami mulai meninggalkan Darwin.
Setelah lampu tanda kenakan sabuk pengaman dipadamkan, kartu kedatangan Timor Leste baru dibagikan alih-alih di bandara, sehingga tidak banyak waktu tersisa sebelum formulirnya harus sudah terisi saat di pesawat.
Layanan kudapan dimulai dari kabin kelas bisnis yang relatif kosong sebelum akhirnya berlanjut ke kelas ekonomi.
Di penerbangan ini tidak ada pilihan kudapan, dan hanya terdapat satu jenis yaitu keju. Setidaknya, seperti di penerbangan Qantas lain ada cukup banyak pilihan minuman; saya memilih air mineral dan anggur merah, dan saya disajikan air mineral Nu dan Hardy’s The Riddle Shiraz 2022 dalam botol ukuran kecil sesuai standar Qantas di kelas ekonomi.
Karena saat itu merupakan masa liburan sekitar Paskah, jadi coklat yang diberikan pun bertemakan itu alih-alih coklat Lindt di masa normal.
Berikut menu kudapan untuk siang hari itu:
- Kudapan: Keju dan kripik beras
- Penutup: Coklat susu
- Minuman: Bervariasi, non-alkohol atau alkohol
Walaupun cukup untuk penerbangan sependek ini dan rasanya cukup standar (dalam arti, kejunya cukup enak untuk keju kemasan), bisa dibilang hidangan yang disajikan terlalu terbatas. Di saat Thai Airways bisa menyajikan makanan 3 course di penerbangan yang lebih pendek (walaupun itu memang di kelas bisnis), satu-satunya yang saya bilang adalah, paling tidak tidak seburuk maskapai yang hanya memberikan biskuit untuk penerbangan 6 jam.
Seperti biasa, setelah makan merupakan waktu yang tepat untuk ke kamar kecil. Kamar kecil di pesawat ini tidak terlalu besar, namun masih cukup untuk duduk di kloset. Selain itu, amenity yang disediakan juga terbatas mengingat penerbangan yang pendek dan kelasnya (ekonomi).
Berikut kabin pesawatnya nampak dari belakang. Walaupun merupakan jet regional, kabinnya relatif tinggi sehingga tidak terasa sempit.
Tak terasa mulai nampak pulau Timor, sehingga sudah saatnya untuk turun.
Kami datang ke Dili (DIL) dari arah timur, sehingga saya di sisi kiri dapat melihat pemandangan bukit di sisi timur Dili.
Semakin dekat dengan Dili pemandangan penuh pohon berubah menjadi pemukiman.
Entah kenapa, melihat Dili dari atas terasa tidak berbeda jauh dari melihat Jayapura (walaupun dari bawah).
Kami mendarat di Dili (DIL) dengan lancar, dan nampak juga pesawat Aero Dili A320 yang akan saya terbangi besoknya menuju Bali (DPS). Karena bandaranya sangat kecil, kami perlu memutar dulu di ujung landasan pacu sebelum keluar menuju apron.
Di dekat gedung terminal nampak papan-papan iklan yang sedikit berbau Indonesia.
Setelah pesawat berhenti, saya turun melalui tangga menuju aspal bekas hujan sebelumnya di hari itu.
Pesawat yang saya naiki tampak dengan jelas setelah saya turun.
Bandara Dili (DIL) tidak begitu besar, jadi alih-alih menggunakan bus saya tinggal jalan kaki sejenak menuju area kedatangan.
Kedatangan
Setelah keluar dari spron, saya pergi melewati koridor ke gedung terminal – anggap saja seperti bandara Jakarta (CGK) terminal 1/2 versi sederhana.
Sebagai warga Indonesia saya tidak perlu mengajukan visa saat kedatangan (visa on arrival), jadi saya bisa langsung pergi ke konter imigrasi. Trivia: Telkomcel (salah satu operator telekomunikasi di Timor Leste; bukan salah ketik) merupakan anak perusahaan Telkom (Indonesia), sehingga wajar kalau terkesan salin-tempel (copy-paste) dengan Telkomsel.
Anda tentu tidak berharap area pengambilan bagasinya sebagus di Mumbai (BOM) atau bandara besar lainnya, namun ini termasuk kecil bahkan untuk pesawat Embraer (apalagi kalau pesawat A320 Aero Dili atau Citilink tiba).
Walaupun sudah tidak ada lagi (digantikan dengan Aero Dili), masih terdapat iklan maskapai Air Timor di bandara.
Kembali lagi ke bagasi. tentu satu hal kalau bagasinya sedikit, tapi dengan jatah bagasi mulai dari 30 kg/penumpang tentu ada banyak tas yang perlu diturunkan, yang ditaruh di ban berjalan dalam segala posisi (sejak kapan ada yang menaruh koper berdiri atau terguling di ban berjalan, dan berharap tidak ada yang jatuh?)
Koper check-in Baller saya tiba beberapa menit kemudian dengan tag tas berat yang ditulis manual.
Setelah proses bea cukai yang prosesnya relatif tidak jelas (antara banyak bergerombol depan komputer yang tidak tahu untuk apa atau mengisi form fisik), saya tiba di area umum. Pengunjung bandara Dili (DIL) terbatas hanya dapat menunggu di sini, dan percayalah, jauh lebih banyak pengantar daripada penumpangnya sendiri.
Saya meninggalkan bandara dengan taksi menuju Plaza Hotel Dili, dimana saya beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Bali (DPS) keesokannya. Bicara tentang taksi, taksi bandara di sini tidak menggunakan argometer, namun menggunakan tarif fixed berdasarkan jarak yang terpasang di bandara.
Banyak yang bertanya seperti apa rasanya di Dili – sebut saja seperti kota kecil di Indonesia, namun sekitar 10 tahun ke belakang.
Kesimpulan
Penerbangan QantasLink dari Darwin (DRW) ke Dili (DIL) kali ini bisa dibilang cukup nyaman untuk standar penerbangan pendek.
Walaupun relatif sederhana, pilihan pesawat regional yang relatif luas namun masih tidak memiliki kursi tengah, kursi yang tidak terlalu keras (walaupun tidak ada stopkontak), dan pelayanan yang cukup efisien membuat penerbangan ini berlalu dengan cepat.
Saya mungkin tidak akan pergi ke Darwin lagi hanya demi terbang dengan ini ke Dili, namun sebelum LinkMiles mudah diakses bisa dibilang ini satu-satunya opsi menukarkan miles untuk terbang ke Dili, sehingga ini masih bisa dipertimbangkan bagi Anda yang ingin berangkat dari Australia.