Untuk memulai perjalanan yang luar biasa kali ini, saya memilih untuk terbang di Garuda Indonesia first class dari Jakarta (CGK) ke Amsterdam (AMS), pengalaman terbang terbaik yang ditawarkan oleh maskapai manapun di Indonesia.
Ini adalah penerbangan pertama dari seri 26 penerbangan saya dalam rangka double round the world saya di bulan Maret dan April 2024.
Penerbangan ini awalnya dipesan 5 bulan sebelum perjalanan dan memerlukan 152.000 GarudaMiles + pajak dan tuslah bahan bakar (fuel surcharge) Rp3.503.000. Tiket di penerbangan ini dijual mulai dari Rp62.500.000 kalau dipesan dengan uang tunai, jadi minimal saya mendapatkan valuasi penukaran Rp388/mile, hampir 3x lipat valuasi GarudaMiles menurut PinterPoin.
Dalam ulasan ini
Sebelum Berangkat
Beberapa hari sebelum jadwal keberangkatan saya mendapatkan email dari Garuda Indonesia first class untuk mengkonfirmasi beberapa fasilitas seperti antarjemput dan baju tidur. Selain itu, Garuda Indonesia juga memberikan fasilitas tambahan untuk penerbangan lanjutan dengan maskapai apapun di hari kalender yang sama (bukan 24 jam), jadi saya sengaja mengambil penerbangan cukup sore dari Amsterdam (AMS) untuk bisa memanfaatkan fasilitas ini.
Sebagai gambaran, berikut pelayanan Garuda Indonesia first class untuk penerbangan lanjutan, saya:
- Mendapatkan pelayanan escort di Bali (DPS) setelah penerbangan Aero Dili dari Dili (DIL) beberapa jam sebelum keberangkatan penerbangan first class domestik ke Jakarta (CGK),
- Mendapatkan pelayanan khusus di penerbangan lanjutan saya ke Istanbul (IST) dengan Turkish Airlines setelah penerbangan first class ini (lebih lanjut di artikel lain), tapi
- Tidak mendapatkan pelayanan khusus saat terbang ke Singapura (SIN) keesokannya, walaupun masih dalam 24 jam dan di kelas bisnis Garuda Indonesia.
Kembali lagi ke penerbangan ini. Semua penumpang Garuda Indonesia first class dari/ke Jakarta (CGK) mendapatkan jatah penjemputan dari area Jabodetabek ke bandara atau sebaliknya, jadi kali ini saya dijemput dengan menggunakan mobil Alphard.
Saya tiba di bandara Jakarta (CGK) terminal 3 kurang lebih 2 jam 30 menit sebelum jadwal keberangkatan (baca: cukup mepet untuk standar first class).
Saat saya tiba di area drop-off keberangkatan, sudah ada Nindya selaku escort saya untuk proses keberangkatan di Jakarta (CGK), yang membantu saya membawakan koper check-in dan koper carry-on saya.
Garuda menawarkan area check-in khusus bagi penumpang first class internasional di ujung area konter check-in A, yang dilengkapi dengan sofa (dan 1 majalah; betul, hanya ada itu).
Selain penerbangan pertama di seri perjalanan kali ini bagi saya, ini juga menjadi penerbangan pertama bagi koper carry-on aluminum saya dari Baller (anggap saja tes tahan banting di puluhan penerbangan dalam waktu singkat, dan tas ini terbukti tahan).
Saya sebetulnya tidak perlu menyentuh pas naik (boarding pass) ini sampai saya tiba di pesawat, namun saya meminjamnya untuk bisa menukarkan diskon Rp100.000 di Pizza Hut dengan kartu Mandiri Visa Signature.
Proses pemeriksaan keamanan sendiri cukup cepat berkat Sky Priority, dan uniknya saya langsung diarahkan melewati imigrasi tanpa menghadap petugas karena dibantu oleh staf Garuda.
Sebagai penumpang Garuda Indonesia first class di rute internasional dari Jakarta (CGK), saya mendapatkan akses ke Garuda Indonesia First Class Lounge.
Penerbangan ini dioperasikan oleh pesawat Boeing 777-300ER yang sudah berumur 9 tahun. Sebagai pesawat dengan livery Republik Indonesia, pesawat ini memiliki fungsi ganda, sebagai pesawat komersial Garuda atau sebagai pesawat kepresidenan untuk penerbangan jarak jauh atau kapasitas tinggi sesuai kebutuhan.
Begitu saatnya tiba untuk naik pesawat, saya.diantar dari lounge sampai ke depan pesawat, tentunya tanpa melewati antrean proses naik pesawat.
Proses naik pesawat dilakukan dengan garbarata, dan tak lama kemudian tiba di pesawat. Berbeda dengan Singapore Airlines, Garuda hanya menggunakan garbarata depan bagi penumpang first class (atau kelas bisnis, tapi hanya kalau pesawatnya tidak dilengkapi dengan kabin first class) sehingga jauh lebih eksklusif.
Di Dalam Penerbangan
Perkenalan Kursi
Setelah disambut oleh Ratna selaku awak kabin pada penerbangan kali ini, saya diantar ke kursi 1K, kursi first class suite lorong sekaligus jendela.
Sesuai kursi first class pada umumnya, kursi ini terdiri dari 1 kursi utama berukuran besar, yang didampingi dengan lampu baca dan katup udara di tepi tembok.
Ruang kaki di suite ini luas seperti di suite first class pada umumnya, apalagi dengan adanya ottoman di bagian depan kabin.
Di sisi dekat jendela terdapat kantong bacaan, tempat yang menyembunyikan meja, dan juga konsol yang memanjang. Salah satu masalah saya adalah folder-folder yang berukuran cukup besar dan ditaruh di atas konsol, sehingga susah disimpan saat perjalanan.
Di sisi depan terdapat area penyimpanan yang sekaligus menyimpan satu-satunya stopkontak di suite ini.
Meja bisa diambil dengan membuka konsol, yang berukuran sangat besar dan cukup stabil.
Sedikit lebih dekat dengan kursi utama terdapat tablet kendali kursi, yang bisa juga dilepas apabila ingin difungsikan seperti remote.
Di sisi samping kursi terdapat tempat penyimpanan yang lebih besar, yang juga berisikan remote sistem hiburan dan air mineral AQUA Reflections. Tempatnya memang cukup besar untuk laptop, tapi tidak untuk setumpuk amenity yang diberikan di penerbangan ini.
Di balik pintu yang terdapat di sisi depan kursi terdapat lemari untuk menggantung pakaian, lengkap dengan gantungan baju.
Di sisi dekat lorong terdapat lampu baca dan katup udara, fitur yang di pesawat ini eksklusif hanya tersedia di first class.
Bacaan di penerbangan ini terdiri dari majalah maskapai, katalog toko di pesawat, dan kantong mabuk udara.
Headphone yang disediakan di penerbangan ini merupakan headphone noise-cancelling generik standar first class. Headphone-nya sendiri cukup jernih, namun tidak spesial dan memiliki sedikit suara latar belakang ketika digunakan.
Tradisi mewajibkan saya untuk berfoto di kursinya. Kursi Garuda Indonesia first class sendiri sudah cukup familiar bagi saya karena saya sudah pernah mencoba beberapa kali, dan bisa dibilang merupakan kursi first class standar yang cukup memadai.
Penerbangan
Selain fitur standar yang ada pada kursi, saya mendapatkan beberapa folder dan juga amenity kit. Walaupun niatnya bagus, folder-folder tersebut memakan cukup banyak tempat dibandingkan dengan tempat penyimpanan yang ada.
Folder pertama berisikan kit untuk menulis serta amplop untuk menyimpan paspor dan dokumen untuk digunakan saat tiba nanti.
Produk first class tidak lengkap tanpa menu. Saya lupa mengambil menu makanan untuk penerbangan ini, namun berikut menu minumannya.
Selain amenity kit, baju tidur juga disediakan di penerbangan ini, dan sesuai permintaan saya di email berukuran sedikit besar.
Sebagai referensi, berikut menu makanan di Garuda Indonesia first class rute Amsterdam (AMS) – Jakarta (CGK) yang sempat dicoba oleh Paulo.
Sampanye first class yang ditawarkan di penerbangan kali ini adalah Billecart-Salmon Vintage 2004, yang juga disajikan sebagai minuman selamat datang (welcome drink) begitu saya tiba di kursi. Selain sampanye ini, terdapat juga sampanye kelas bisnis berupa Henriot Brut Souverain, yang saat itu menjadi sampanye standar di kelas bisnis internasional Garuda Indonesia (selain tentunya rute Arab Saudi).
Sampanye disajikan bersamaan dengan handuk basah dan juga kacang.
Saat itu ada masalah operasional yang menyebabkan kami keluar dari gerbang 25 menit setelah jadwal, walaupun setidaknya kami terus diberikan update.
Petunjuk keselamatan ditayangkan sambil kami pergi menuju lepas landas.
Seperti biasa, lampu kabin diredupkan untuk persiapan lepas landas.
Langit-langit di kabin first class maupun kelas bisnis memiliki fitur unik berupa langit-langit yang nampak seperti bintang ketika lampu kabin diredupkan.
Kurang lebih 15 menit setelah keluar dari gerbang kami lepas landas dan mulai perlahan meninggalkan Jakarta.
Begitu lampu tanda kenakan sabuk pengaman dimatikan, layanan dimulai dengan pelayanan sandal yang over the top, di mana sandal Anda akan ditaruh di karpet (dan beralas lagi), dan Anda bisa menitipkan sepatu di sepanjang perjalanan.
Kaki saya memang hanya sedikit lebih besar dari ukuran kaki umum (46), tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat sandal dari Garuda terasa sangat ketat.
Sambil menunggu makan malam saya memeriksa layanan Wi-Fi yang tersedia di pesawat ini, dan betul memang tersedia.
Wi-Fi sendiri hanya menawarkan konektivitas internet dan waktu perjalanan, namun tidak memiliki hiburan apapun.
Tentu satu hal kalau Wi-Fi di pesawat ini gratis, namun Garuda Indonesia cukup pelit untuk tidak memberikan kupon Wi-Fi saat itu.
Untuk keperluan mengulas, saya membeli paket internet 250MB sebanyak 1 kali (paling tidak setelah bosan memperbarui paket chat gratis), dan ketika saya uji kurang lebih 1 jam sebelum mendarat kecepatannya sendiri agak pelan.
Sebelum layanan makan malam dimulai, saya pergi ke kamar kecil terlebih dahulu sebelum lupa. Kamar kecil di kabin first class terasa hampir, kalau tidak sama persis dengan di kelas bisnis, dan berukuran sedikit lega (baca: seperti kamar kecil first class maskapai lain).
Satu-satunya yang membedakan adalah amenity di kamar kecil ini, yang sebagian menggunakan L’Occitane seri Verbena, ditambah semprotan muka dari Evian.
Layanan kaviar Garuda Indonesia first class bisa dibilang relatif sederhana dengan sedikit kaviar yang ditaruh di atas telur cincang, creme fraiche, blini, dan (karena Garuda) krupuk udang, tentunya dengan minuman pilihan saya. Berbeda dengan, misal, Lufthansa, layanan kaviar lebih dianggap sebagai hors d’oeuvre alih-alih bagian dari layanan makan utama, sehingga setelah ini masih terdapat pembuka.
Karena kaviarnya yang sangat sedikit, saya meminta disajikan lagi kaviarnya, dan kali ini kaviarnya lebih banyak (walaupun tetap saja sedikit).
Ini tidak termasuk di fasilitas penerbangan, tapi salah satu alumni PinterPoin Masterclass yang kebetulan sama-sama memulai perjalanan round the world-nya dengan penerbangan ini memberikan saya 1 kaleng kaviar, yang tentu jauh lebih banyak daripada kaviar yang disajikan di Garuda first class (walaupun masih belum sebanyak Emirates first class yang bahkan sampai menawarkan all you can eat kaviar).
Setelah layanan kaviar, Erwin selaku chef on board di penerbangan ini baru mengambil pesanan saya untuk makan malam dan sarapan.
Beberapa saat kemudian, meja pun disiapkan untuk hidangan berikutnya.
Salah satu tradisi di Garuda first class adalah sup yang dituangkan di depan meja, walaupun karena turbulensi (lihat saja air di gelasnya) supnya dituang dulu di dapur sebelum disajikan. Menu yang dihidangkan kali ini adalah soto Lamongan, yang disajikan dengan sambal khas soto.
Salah satu kebiasaan saya adalah memesan hidangan sesuai asal maskapainya, tidak terkecuali untuk penerbangan ini. Ini artinya, saya menyantap mi goreng sei sapi sebagai hidangan utama.
Karena saya lupa memfoto atau membawa menu makanannya, saya belum bisa menuliskan menunya di ulasan seperti biasa.
Layanan makan malam kali ini cukup buruk untuk standar first class. Memang betul secara presentasi terasa sedikit lebih seperti first class dengan layanan kaviar, tidak adanya baki, dan tentunya meja yang lebih luas, namun selain itu sangat terasa seperti di kelas bisnis (dan saya pernah bilang menu kelas bisnis jarak menengah Garuda tidak enak). Mulai dari tidak adanya shaker lada atau garam, taplak meja yang persis seperti di kelas bisnis, hingga makanan yang terasa “ditumpuk” di piring, kalau bukan karena meja raksasa saya bisa saja bilang ini kelas bisnis dan tidak akan ada yang meragukan.
Dari segi hidangan sendiri, selain hidangannya yang nampak seperti hidangan di acara kondangan, secara rasa sendiri juga bisa dibilang seperti itu (misalnya, soto yang disajikan hampir dingin, daging sapi di mi yang keras, dan sayur yang terkesan apa adanya). Ditambah lagi dengan sudah adanya chef on board di penerbangan ini, dan bisa dibilang untuk mendapatkan menu yang masih seperti ini di first class terasa sangat mengecewakan.
Setelah makan malam saya meminta tolong untuk dibuatkan kasur untuk beristirahat, dan hasilnya nampak seperti di bawah. Perbedaan bedding di rute first class jarak menengah/jauh dan jarak dekat (termasuk domestik) terdapat pada matras dan bantal tambahan yang lebih besar, sedangkan selimut, bantal kecil, maupun guling tetap sama.
Satu hal yang disayangkan adalah matrasnya yang cukup tipis.
Anda tentu tidak mengharapkan banyak selain suite yang cukup lega dan bedding yang sedikit empuk, dan Garuda Indonesia first class menawarkan itu, bahkan walaupun itu berarti saya tidur di atas selimut.
Saya sempat tidur selama 6 jam sebelum akhirnya terbangun, lalu saya berputar mengelilingi pesawat. Di bagian belakang terdapat kabin kelas ekonomi yang disusun dalam konfigurasi 3-3-3 (baca: lega, jauh dibandingkan dengan United Boeing 787 dengan konfigurasi serupa).
Kursi kelas bisnis di pesawat Boeing 777-300ER berada di 2 kabin, kabin kecil tepat setelah kabin first class dan kabin yang lebih besar setelah pintu keluar kedua dari depan. Seperti semua pesawat Boeing 777-300ER milik Garuda, kursi ini diatur dalam konfigurasi staggered 1-2-1 dengan kursi yang saling berjauhan atau saling berdekatan di tengah (“honeymoon seat“) seperti di kelas bisnis regional Singapore Airlines.
Garuda tidak menyediakan bidet di kloset semua pesawat mereka, termasuk di first class. Ini artinya, saya perlu menggunakan bidet portabel dari LEKA untuk membuat pengalaman buang air saya lebih nyaman (disclaimer: saya diberi unitnya gratis, tapi tidak mendapatkan komisi apapun).
Begitu saya bangun saya ditawarkan untuk menikmati hidangan ringan. Saya hanya ingin makan sedikit sebelum berusaha tidur lagi, jadi saya memesan piring sate. Piring sate ini secara konsep mirip dengan yang ditawarkan di kelas bisnis internasional Garuda Indonesia jarak menengah.
Tak terasa matahari mulai terbit kira-kira 5 jam sebelum mendarat, di mana kami sedang di sekitar Asia barat.
Saya mencoba tidur beberapa jam lagi, dan tak terasa langit pun sudah terang (andaikan saja hal yang sama bisa dikatakan di Amsterdam).
Layanan sarapan dimulai 2 jam 30 menit sebelum kami mendarat di Amsterdam (AMS). Setelah membaca PinterPoin sebentar, meja saya mulai ditata untuk persiapan sarapan.
Sarapan di penerbangan ini dimulai dengan buah segar dan keranjang roti sarapan.
Bisa dibilang menu signature sarapan Garuda Indonesia di kelas premium rute menengah atau jauh adalah telur yang dimasak fresh di pesawat, jadi saya memesan nasi dengan ayam opor dan juga ditambah dengan 2 butir telur mata sapi.
Sama seperti sebelumnya, saya tidak memiliki menunya, jadi langsung .
Berbeda dengan makan malam, sarapan kali ini bisa dibilang cukup baik, meskipun masih standar kelas bisnis. Makanan yang paling enak di penerbangan ini adalah nasi liwet, yang nasinya cukup mirip dengan nasi liwet di Solo dan didampingi telur yang dimasak tidak terlalu kering. Masalahnya, sama seperti makan malam, hidangannya sendiri sangat mirip (kalau tidak sama persis) dengan di kelas bisnis, apalagi mengingat kelas bisnis juga mendapatkan telur segar dan makanannya sama-sama disusun di piring alih-alih casserole seperti di kelas bisnis regional atau ekonomi. Kalau Anda berharap pengalaman makan yang luar biasa di Garuda Indonesia first class, jaga ekspektasi Anda.
Walaupun di pesawat, saya tetap mencoba untuk bekerja sejenak dengan ThinkPad T14 Gen 2 (laptop standar saya), dan kebetulan Vincent (founder PinterPoin) saat itu baru saja mengulas Etihad First Class Lounge yang akan saya kunjungi beberapa hari kemudian.
35 menit sebelum mendarat (kira-kira saat kami mulai turun), sepatu saya kembali dibawakan ke suite.
Sandal saya ditawarkan untuk disimpan dalam tas untuk dibawa, yang berlogo Garuda Indonesia first class.
Tak terasa perjalanan selama belasan jam dari Jakarta harus segera berakhir.
Sambil menunggu pesawat mendarat, saya melihat sekilas opsi musik klasik yang tersedia di penerbangan ini, yang sayangnya relatif terbatas.
Cuaca di pagi itu sangat berkabut sampai bahkan daratan pun baru nampak 1-2 menit sebelum mendarat.
Proses mendarat sendiri relatif lancar dan kami pergi menuju gerbang, walaupun perlu menunggu selama kurang lebih 15 menit karena keramaian bandara.
Pergi boleh jauh sampai ke Eropa, tapi ujung-ujungnya bertemu dengan maskapai negara tetangga lagi.
Sesuai tradisi saat saya terbang di first class, saya meminta tolong untuk difotokan di kursi tersebut.
Saya pun turun dari pesawat, di mana di depan garbarata sudah ada petugas dari Schiphol VIP yang membawa papan nama berisi nama sebagian penumpang first class (sebagian dalam arti; 1 nama/kelompok dan tidak termasuk yang memesan tiket terlalu mepet).
Kedatangan
Setelah berhasil membuat 2 rekan seperjalanan saya kembali ke gerbang (mereka sempat lupa dan langsung pergi ke terminal utama untuk proses pindah pesawat), kami diantar turun menuju mobil van.
Mobil van ini membawa kami ke Schiphol VIP Centre untuk proses kedatangan, yang wajib diulas terpisah karena begitu eksklusifnya lounge ini.
Setelah proses imigrasi kedatangan dan sarapan ringan di lounge, saya diantar dengan menggunakan mobil ke tujuan akhir saya di Amsterdam. Ini artinya, saya bisa melakukan double dip manfaat Garuda Indonesia first class di Amsterdam berupa akses lounge transit sekaligus airport transfer, yang jika ditotal di harga normal sudah senilai lebih dari Rp10.000.000 (walaupun mesti juga dibayar dengan biaya visa Schengen sebesar hampir Rp2.000.000 yang hanya dipakai 1/2 hari).
Saya diturunkan di sebelah Rijksmuseum untuk memulai singgah sejenak saya di Amsterdam. Rijksmuseum memang tidak terlalu jauh dari bandara (kalau saya ingin mendapatkan value maksimal dari airport transfer ini saya bisa saja ke Groningen atau Maastricht yang berjarak sekitar 200 km), namun sudah relatif cukup untuk hari itu karena saya malamnya masih akan terbang lagi.
Kesimpulan
Garuda Indonesia first class di rute flagship-nya sangat well-rounded, namun masih memiliki cukup banyak kelemahan.
Pengalaman terbang dengan Garuda Indonesia first class bisa dibilang sangat lengkap. Mulai dari airport transfer baik di Jakarta (CGK) maupun Amsterdam (AMS), pelayanan di darat yang termasuk lounge first class di Jakarta dan terminal VIP di Amsterdam (Emirates first class rute Amsterdam saja menggunakan lounge standar di terminal utama), dan tentunya pelayanan di pesawat yang bisa dibilang memenuhi semua checklist untuk produk first class, di atas kertas memang Garuda Indonesia first class merupakan produk yang sangat bagus.
Masalahnya, di balik itu terdapat beberapa detail yang membuat produk ini tidak semewah perkiraan. Selain lounge yang sangat ala kadarnya di Jakarta, kursinya sendiri sudah cukup berumur (dan tidak ada upaya refresh sejak diluncurkan), tidak adanya Wi-Fi gratis, serta kualitas makanan yang menyerupai kelas bisnis membuat Garuda first class beberapa kali terasa seperti kelas bisnis dengan kursi raksasa di sepanjang perjalanan.
Secara keseluruhan, saya menyarankan Anda untuk mencoba Garuda Indonesia first class apabila Anda ingin mendapatkan pelayanan yang tiada duanya dari tujuan awal sampai akhir dan memiliki cukup banyak GarudaMiles, walaupun sebetulnya dari segi value for money (atau miles) saya lebih menyarankan Anda untuk terbang dengan KLM kelas bisnis dari Bangkok (BKK) hanya dengan 75.000 GarudaMiles tanpa fuel surcharge.