Salah satu highlight perjalanan saya ke Australia kali ini adalah penerbangan unik yaitu rute “Western 2” Rex (Regional Express) yang merupakan penerbangan perintis antara Brisbane (BNE) dan Mount Isa (ISA) dengan 7 perhentian di tengah negara bagian Queensland.
Penerbangan Ini merupakan versi yang lebih ekstrem dari United “Island Hopper”, di mana selain jumlah perhentian yang lebih banyak (7 perhentian vs 5 perhentian), baik daerah yang dikunjungi maupun pesawatnya sendiri jauh lebih kecil.
Ini adalah seri penerbangan ke-4 sampai ke-11 dari seri 14 penerbangan dalam perjalanan saya ke Australia.
Karena Rex bukan merupakan maskapai anggota aliansi manapun, tiket ini hanya dapat dipesan dengan uang tunai. Saya memesan tiket ini di situs Rex 1 bulan sebelum terbang dengan harga A$331 (~Rp3.500.000), termasuk biaya A$6 (~Rp65.000) untuk memilih kursi di awal.
Bicara tentang memesan tiket di Australia, satu hal yang sering tidak bisa dihindarkan adalah biaya admin pembayaran (yang jumlahnya berbeda-beda tergantung cara membayar).
Daripada terkena biaya admin mahal saat membayar dengan BCA American Express Platinum (meskipun kursnya terbaik di Indonesia), saya memilih untuk membayar dengan UOB PRIVI Miles melalui PayPal supaya biaya adminnya lebih murah dan tetap mendapatkan banyak miles.
Tentang Rex dan Operasional Rex di Queensland
Berbeda dengan United yang mewarisi rute penerbangan di Mikronesia maupun Alaska Airlines yang mewarisi rute Alaska tenggara dengan beberapa perhentian dari maskapai lain, Rex sendiri memang merupakan maskapai yang berfokus di rute regional.
Rex menerbangi berbagai rute regional di Australia dengan 61 pesawat Saab 340, yang merupakan armada Saab 340 terbesar di dunia.
Walaupun Rex sendiri menerbangi beberapa rute regional secara komersial (dalam arti, tanpa bantuan), di negara bagian Queensland sendiri Rex ditunjuk untuk menerbangi 6 dari 7 rute perintis (dengan subsidi):
- Rute “Central”: Brisbane BNE ke Charleville (CTL) dan Roma (RMA),
- Rute “Western 1”: Brisbane (BNE) ke Thargomindah (XTG)
- Rute “Western 2”: Brisbane (BNE) ke Mount Isa (ISA)
- Rute “Gulf”: Cairns (CNS) ke Mount Isa (ISA)
- Rute “Northern 1”: Townsville (TSV) ke Longreach (LRE)
- Rute “Northern 2”: Townsville (TSV) ke Mount Isa (ISA)
Rute “Central 2” sendiri merupakan rute terjauh dengan 7 perhentian dan ditempuh selama 9 jam, di mana ini merupakan satu-satunya opsi penerbangan dari/ke 5 tujuan (Quilpie ULP, Windorah WNR, Birdsville BVI, Bedourie BEU, dan Boulia BQL).
Anda mungkin bertanya, kalau saya sesusah itu terbang ke Mount Isa, apakah ada opsi penerbangan langsung dari Mount Isa (ISA) ke Brisbane (BNE) – jawabannya tentu ada, bahkan sampai ada 2 operator:
- Qantas dengan pesawat Boeing 737, dan
- Virgin Australia (dioperasikan oleh Alliance Airlines) dengan pesawat Fokker 70.
Sebelum Berangkat
Satu jam sebelum keberangkatan, saya berangkat dari Ibis Brisbane Airport menuju ke terminal domestik yang tersambung melalui gedung parkir mobil dan stasiun kereta.
Terminal domestik Brisbane sendiri dibagi menjadi 3 bagian yaitu Qantas di sisi utara, Virgin Australia di sisi selatan, dan semua maskapai lain (termasuk Rex) di tengah.
Begitu masuk terminal bandara, saya langsung nampak berbagai konter check-in bagasi otomatis, dengan cukup banyak kios check-in di dekat pintu masuk.
Saya sendiri sudah melakukan check-in online sebelum terbang, jadi berikut pas naik (boarding pass) saya untuk penerbangan hari itu.
Di papan keberangkatan sendiri penerbangan ini terbang menuju Windorah, walaupun masih ada 6 perhentian lain.
Setelah proses check-in selesai saya pun naik ke lantai keberangkatan untuk menjalani pemeriksaan. Walaupun cukup ramai, prosesnya sendiri cukup cepat dan saya pun selesai dalam waktu 10 menit.
Penerbangan kali ini dioperasikan oleh Saab 340 dengan registrasi VH-ZRB yang berumur 26 tahun. Sebelum beroperasi dengan Rex, pesawat ini dioperasikan oleh American Eagle, anak perusahaan regional American Airlines.
Dengan hanya maksimal 34 orang, gerbangnya sendiri cukup sepi.
Ini artinya, saat mulai dipanggil untuk naik pesawat 15 menit sebelum jadwal keberangkatan prosesnya sendiri cukup cepat, dan saya pun turun menuju ke apron untuk naik pesawat.
Berikut nampak pesawatnya dari dekat.
Saya pun menaiki tangga yang terpasang (dan akan dibawa di pesawat saat penerbangan) sebelum disambut oleh Marie, satu-satunya pramugari yang bertugas dalam penerbangan ini sampai nanti tiba di Mount Isa.
Di Dalam Penerbangan
Perkenalan Kursi
Sesuai namanya, pesawat Saab 340 dilengkapi dengan 34 kursi kelas ekonomi dalam konfigurasi 1-2. Saya duduk di kursi 3A, kursi jendela dan lorong.
Anda tentu tidak akan menemukan ruang kaki seluas kelas utama (first class) Singapore Airlines atau bahkan kelas ekonomi Alaska, walaupun setidaknya saya masih muat.
Kursinya sendiri memiliki meja lipat standar.
Di dalam kantong kursi terdapat kartu petunjuk keselamatan, majalah, dan kantong mabuk udara.
Kursi di baris 3 sendiri menawarkan pemandangan mesin, yang tentunya ideal untuk foto (lebih tepatnya, kenang-kenangan menaiki pesawat ini) namun cukup berisik. Selama beberapa penerbangan pertama saya menggunakan headphone noise-cancelling, walaupun lama kelamaan akhirnya terbiasa juga.
Seperti biasa, berikut foto saya di kursi tersebut – kali ini tidak ada sandaran kepala yang bisa disesuaikan, dan juga di Australia masker sudah tidak diperlukan saat terbang.
Penerbangan
Di setiap penerbangan proses demonstrasi petunjuk keselamatan pun dilakukan bersamaan dengan sambutan, walaupun setelah beberapa penerbangan pertama demonstrasinya sedikit disesuaikan dengan tidak mendemonstrasikan cara memakai pelampung karena daerahnya yang tidak memiliki air.
Kami pun pergi menuju landasan kedua untuk lepas landas, yang memakan waktu kurang lebih 10 menit dari sejak mesin mulai dinyalakan.
Anda tentu ingin mendengar seberapa keras suara pesawat ini saat lepas landas, jadi berikut videonya (dengarkan dengan volume mendekati maksimum):
Kami pun terbang di atas laut sejenak sebelum akhirnya berbelok ke barat.
Setelah menanjak selama beberapa menit, kami pun akhirnya menjelajah di ketinggian 8.100 kaki.
Karena penerbangan dari Brisbane BNE ke Toowoomba TWB sendiri sangat pendek dan penumpangnya cukup banyak (sebagai referensi, ini sedikit lebih jauh dari Jakarta HLP ke Bandung BDO, atau Denpasar DPS ke Lombok LOP), kali ini hanya disediakan air mineral dalam botol kecil.
Sesaat setelah minuman disajikan, kami pun mulai turun melalui kota Toowoomba.
Berikut pemandangan bandara Toowoomba dari atas.
Kami pun mendarat di Toowoomba setelah hanya 26 menit di udara.
Anda mungkin berpikir, kenapa pesawat ini diparkir dalam posisi miring – ini karena pesawatnya tidak menggunakan truk pendorong untuk mundur dari tempat parkir, sehingga setelah mesin pesawat kembali dinyalakan pesawat bisa langsung berbelok untuk putar balik.
Di sini penumpang yang melanjutkan penerbangan diminta tetap berada di dalam pesawat, sehingga hanya sesaat setelah penumpang tujuan Toowoomba turun penumpang baru pun masuk sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan.
Setelah berhenti selama kurang lebih 20 menit, kami pun kembali ke landasan pacu untuk berangkat menuju tujuan berikutnya, Charleville CTL.
Walaupun ini merupakan pesawat regional, kemampuan menanjaknya tidak kalah dibandingkan dengan pesawat jet, sehingga kami pun segera naik menuju ketinggian jelajah kami untuk penerbangan ini.
Penerbangan dari Toowoomba WTB ke Charleville CTL merupakan penerbangan paling jauh dari rangkaian penerbangan hari ini dan masih cukup ramai, sehingga layanan makanan ringan lengkap pun disediakan dengan troli (di layanan berikutnya, layanannya dilakukan dengan keranjang jajan dan baki).
Makanan ringan dan minuman pertama ditawarkan, dimana apabila Anda ingin kopi atau teh maka gelas kertas akan ditaruh dengan pelengkapnya (misalnya, saya ingin teh susu manis, sehingga saya mendapatkan gelas + susu kemasan kecil + gula sachet).
Berikut makanannya setelah dibuka.
Setelah selesai membagikan jajan, Marie membawa teko kopi dan teh panas untuk mengisi gelas kertas tersebut.
Menu yang disediakan gratis pada penerbangan ini terdiri dari:
- Makanan ringan: Pilih apapun dari:
- Kripik jagung dan kedelai asap, atau
- Kue lemon dan yoghurt
- Minuman: Air mineral, kopi, teh.
Kita sebut saja, saya beruntung masih sempat membeli makanan tambahan saat di Charleville CTL (lebih lanjut nanti).
Seenak apapun kripiknya, pada suatu titik di tengah perjalanan saya sudah bosan mengambil makanan atau minuman yang ditawarkan, walaupun ini wajar mengingat pesawat ini tidak memiliki dapur panas.
Bandara Charleville CTL merupakan bandara berukuran “normal” terakhir sampai nanti di Mount Isa ISA, dan juga 1 dari 2 perhentian dimana saya bisa turun.
Anda tentu akan menganggap bandara Charleville ini cukup kecil untuk standar Indonesia, namun untuk bandara seukuran ini fasilitas yang ditawarkan cukup lengkap, mulai dari area pengambilan bagasi, konter check-in khusus maskapai Rex, sampai tempat persewaan mobil.
Walaupun begitu, daya tarik utama bandara ini bagi penumpang seperti saya yang akan melanjutkan sampai ke pedalaman adalah kantinnya, yang menjadi satu dengan bandaranya dan bahkan memiliki opsi makanan dan minuman seperti wrap, sandwich, dan kopi.
Saya sendiri memilih untuk makan wrap daging babi suwir dengan saus barbekiu, yang menurut saya cukup enak (dan bahkan sebelum saya menyadari ini makanan panas terakhir saya sampai makan malam nanti di Mount Isa).
Bicara tentang ruang tunggunya sendiri, untuk standar bandara seukuran ini ruangannya sudah termasuk nyaman, walaupun seperti bandara lain di Australia cukup pelit stopkontak.
Mengingat di pesawat maupun bandara-bandara setelah ini tidak tersedia Wi-Fi, saya selalu menggunakan router Wi-Fi portabel dari Passpod untuk mengakses internet di tiap perhentian.
Bahkan di pedalaman sekalipun (3 dari 5 kota perhentian berikutnya hanya memiliki penduduk kurang lebih 100 orang), akses internet yang disediakan Passpod tetap sangat baik di semua perhentian dengan kecepatan di kisaran 30 Mbps.
Setelah di terminal selama 25 menit, saya pun memilih untuk terakhir kembali ke pesawat.
Karena saat itu sedang gerimis di Charleville, saya pun tidak bisa memfoto sampai kami lepas landas mengingat jendela saya sudah cukup basah.
Setelah proses lepas landas yang cukup cepat kami pun melanjutkan perjalanan menuju Quilpie ULP.
Quilpie sendiri merupakan kota terakhir dimana penumpang di pesawat ini masih cukup banyak; dari sana sampai ke Mount Isa hanya ada kurang dari 10 penumpang dalam 1 pesawat.
Hanya 10 menit setelah lepas landas layanan makanan ringan dan minuman panas kembali disediakan, sehingga saya pun meminta kripik jagung, air mineral, dan teh panas.
Di sepanjang perjalanan sendiri biasanya kita mengira akan sangat terik mengingat keringnya daerah pedalaman, namun tidak, di sepanjang penerbangan sendiri keadaannya terus mendung, dan bahkan di pedalaman Queensland bagian utara sendiri sampai banjir saya pun dibilang beruntung masih bisa menginap di Mount Isa saat di hotel nanti.
Setelah hanya di udara selama kurang lebih 30 menit saya pun mendarat di Quilpie ULP, perhentian terakhir sebelum pesawatnya relatif sepi (hanya ~10 orang) di sisa perjalanan hari ini.
Setelah selesai mendarat, kami pun menuju gedung terminal ….
Atau “rumah” terminal – mulai dari perhentian ini sampai nanti di Mount Isa semua bandaranya akan sekecil ini. Di sini kami hanya berhenti kurang dari 20 menit sebelum melanjutkan penerbangan ke Windorah WNR.
Setelah lepas landas kami pun berputar terlebih dahulu, sehingga dari sisi kiri nampak pemandangan Quilpie dari atas.
Semakin ke barat, daerahnya juga semakin gersang, sampai tumbuhan sendiri hanya muncul di beberapa bagian. Selain itu, masih terus sama seperti sebelumnya, keadaannya sendiri masih relatif mendung.
Setelah beberapa saat, kami pun mulau turun, dan dengan landasan bandara Windorah WNR nampak dari atas menandakan saatnya mendarat sudah dekat.
Bagian dari kota Windorah yang dihuni sendiri nampak hanya berupa titik-titik rumah kecil di tengah foto, dibandingkan dengan alam di sekitarnya.
Di sekitar jam makan siang kami pun berhenti di perhentian keempat, dan juga terlama sepanjang perjalanan ini, yaitu di Windorah WNR.
Anda bisa berkata apapun tentang bandaranya, namun bandara-nya sendiri sudah memiliki fasilitas yang cukup memadai untuk istirahat sejenak.
Area pengambilan bagasi sendiri sangat sederhana, yaitu berupa gerobak bagasi yang didorong ke sebelah gedung terminal.
Area di sebelah gedung terminal ini juga menjadi tempat beberapa penumpang untuk bersantai, termasuk saya (setidaknya sampai saya merasa ada banyak lalat; Dan itu kata salah satu penumpang lain masih belum ada apa-apanya).
Sebagai perhentian makan siang, gedung terminal (atau lebih dibilang rumah) sendiri dilengkapi dengan kulkas dan vending machine kosong, dan juga kamar kecil.
Konter check-in sendiri juga cukup sederhana dan menjadi satu dengan gedung terminal, tentunya tanpa area pemeriksaan keamanan seperti di bandara yang lebih besar.
Di bandara sendiri tidak disediakan Wi-Fi, namun berkat internet yang cukup cepat dengan router Wi-Fi portabel dari Passpod saya masih bisa terus membaca update di Telegram PinterPoin (khusus bagi alumni PinterPoin Masterclass) dan menyiapkan foto untuk membuat review.
Apabila Anda berharap makanannya se-“mewah” di Charleville CTL karena statusnya sebagai perhentian istirahat makan siang, Anda salah besar – di sini hanya terdapat makanan dingin, dan bahkan pembayarannya sendiri swalayan.
Setelah waktu istirahat selesai, staf darat pun memanggil saya untuk kembali menaiki pesawat.
Ketika saya menyadari bahwa 4 penerbangan berikutnya (Windorah WNR-Birdsville BVI-Bedourie BEU-Boulia BQL-Mount Isa ISA) akan masing-masing relatif pendek, saya pun pergi untuk mengulas kamar kecilnya.
Apabila Anda berharap kamar kecil yang mewah atau bahkan longgar, Anda terbang di pesawat yang salah. Bukan hanya rendah, kamar mandinya sendiri juga cukup sempit untuk bahkan berputar.
Fasilitas di kamar kecilnya sendiri juga sangat terbatas, dengan kloset yang menggunakan cairan biru untuk membilas dan wastafel yang tidak berfungsi lagi.
Karena saya sudah pergi keluar kursi juga, kenapa tidak sekaligus melihat kabinnya dari belakang?
Kalau tadi saya sudah berkata duduk di depan cukup bising, bayangkan sebising apa di belakang; walaupun begitu, pemandangannya memang tidak begitu terhalang oleh mesin.
Seperti yang saya sebut sebelumnya, keadaan di darat sendiri cukup unik; Tandus karena memang biasanya daerah gurun, namun juga basah mengingat hujan di daerah tersebut.
Dalam arti, sebising ini – seperti yang saya sebut di awal, cara yang paling efisien untuk membuat perjalanan lebih nyaman adalah dengan memasang headphone noise-cancelling.
Untungnya, saat kami mulai turun menuju Birdsville BVI cuacanya menjadi cerah; ini dan Bedourie BEU merupakan 2 perhentian dimana cuacanya relatif cerah sampai nanti tiba di Mount Isa.
Birdsville sendiri sudah cukup jauh dari Brisbane, dan penerbangan terakhir ke arah barat sebelum melanjutkan penerbangan ke utara, sehingga yang tersisa hampir semuanya hanya pemandangan gurun.
Seperti yang Anda bayangkan tentang Australia bagian tengah, Birdsville sendiri bisa dibilang cukup panas, namun ada 1 hal yang membantu saya tetap sejuk, yaitu ….
Mulai perhentian kali ini di Birdsville sampai di Boulia perhentiannya sendiri jauh lebih cepat dari sebelumnya (~10 menit) sehingga mesin kanan pun tetap dinyalakan sepanjang perhentian; mesin kiri sendiri tetap dimatikan supaya proses naik/turun barang maupun penumpang tetap aman.
Bicara tentang mesin kanan tetap menyala, ini juga membantu supaya AC dan lampu kabin tetap menyala.
Walaupun pesawatnya hanya berhenti sebentar, penumpang pun tetap ada yang naik atau turun di tiap perhentian, sehingga petunjuk keselamatan pun tetap disampaikan.
Sudah terasa banyak lepas landas? Ini baru lepas landas ke-6 untuk hari ini, dan masih ada 2 lagi nanti sore.
Bandara Birdsville BVI merupakan satu-satunya bandara yang “menempel” tempat pemukiman dari beberapa perhentian kali ini; Anda yang sudah lama bepergian di Indonesia tentu masih mengingat bandara seperti Medan MES (bukan Medan KNO yang sekarang) atau Jakarta HLP yang benar-benar dekat dengan daerah pemukiman di sekitarnya.
Salah satu masalah utama saat mengulas terbang dengan pesawat yang agak tua (termasuk ini) adalah kaca jendelanya yang sudah memiliki goresan; ditambah dengan medan gurun yang keras, goresan yang cukup banyak membuat fokus kamera saya sulit diatur, yang tentunya menjadi tantangan tersendiri.
Kembali lagi ke penerbangannya. Seperti sebelumnya, 10 menit setelah lepas landas makanan ringan dan minuman pun kembali disajikan, tentunya dengan menu yang sama.
Saya sendiri sudah (dan masih) cukup kenyang, sehingga saya hanya meminta air mineral. Sebetulnya, selain makanan dan minuman gratis tersebut, bir dan wine juga tersedia, namun berbayar dan tidak diiklankan.
Begitu kami mendekati Bedourie, walaupun sama-sama daerah gurun, sungai mulai nampak dan pemandangan pun pelan-pelan berubah menjadi hijau lagi.
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, penerbangan ini langsung menjadi sangat sepi (< 10 orang) begitu mencapai Quilpie, jadi sesepi itu pesawatnya saat kita mendekati Bedourie.
Perhentian di Bedourie sendiri cukup cepat, dimana ada 2 penumpang yang bergabung.
Berbeda dengan penerbangan United “Island Hopper” yang masih memiliki 1 penerbangan panjang (Honolulu HNL ke Majuro MAJ), karena penerbangannya yang cenderung pendek tidak ada waktu yang “tepat” untuk tidur di sepanjang penerbangan, jadi saya memilih tidur di sepanjang penerbangan dari Bedourie BEU ke Boulia BQL.
Saya baru terbangun saat mendarat di Boulia BQL, perhentian terakhir sebelum menuju Mount Isa; bukan karena suaranya (di titik ini saya sudah mulai terbiasa, dan tentunya dibantu dengan headphone), tapi karena mendaratnya lebih terasa daripada saat terbang dengan pesawat besar.
Kami pun parkir di sebelah pesawat dokter terbang Australia, dan setelah proses naik turun selama 15 menit kami pun memulai penerbangan terakhir hari ini ke Mount Isa.
Setelah lepas landas kami pun memutari kota Boulia dari atas sebelum akhirnya terbang ke utara menuju Mount Isa.
Untuk terakhir kalinya hari ini saya pun ditawari makanan ringan dan minuman panas sambil kami terus menanjak, sehingga kali ini saya memilih kripik jagung dan air mineral lagi.
Kurang lebih 40 menit setelah lepas landas saat kami turun menuju Mount Isa lampu tanda kenakan sabuk pengaman pun dinyalakan untuk terakhir kalinya.
Kami mendarat ke arah selatan, sehingga sialnya saya belum sempat melihat tambang Mount Isa dari atas, yang merupakan salah satu tambang terbesar di Australia. Sebagai penggantinya, dari sisi saya nampak danau Moondarra sesaat sebelum mendarat.
Setelah melewati 9 jam sejak pertama lepas landas dari Brisbane BNE dan 7 perhentian melalui pedalaman Queensland (betul, saya masih di negara bagian yang sama setelah selama ini), akhirnya saya tiba di Mount Isa dan kembali melihat bandara “agak” besar.
Mount Isa, walaupun kecil, merupakan salah satu titik “transit” (dengan tanda kutip karena bisa saja transit artinya terbang besoknya) Rex dengan 3 rute perintis dan 1 rute komersial, sehingga setelah menyendiri di sepanjang perjalanan akhirnya pesawat ini diparkir di sebelah pesawat Rex Saab 340 lain.
Setelah semua penumpang lainnya turun, saya pun meminta izin untuk pergi ke kokpit sejenak.
Setelah diizinkan, saya pun berkesempatan melihat dan berbicara sebentar dengan kapten dan kopilotnya sebelum saya meninggalkan pesawat.
Begitu saya turun dari pesawat saya pun diarahkan melalui jalan menuju gedung terminal.
Bahkan sebagai bandara yang cukup besar untuk ukuran pedalaman Australia, bandaranya sendiri masih cukup kecil untuk standar Indonesia dengan 2 pintu keberangkatan/kedatangan dan 1 pintu khusus kedatangan.
Kedatangan
Waktu saya tiba di gedung terminal, saya langsung tiba di area pengambilan bagasi yang cukup kecil.
Bagasi saya muncul beberapa menit setelah tiba, dan setelah itu saya pun pergi mengambil mobil sewaan untuk pergi ke hotel Ibis Styles Mount Isa Verona, satu-satunya hotel jaringan internasional di pedalaman Queensland.
Di sini juga terdapat konter penyewaan mobil, yang seperti di bandara di Australia merupakan area umum (dalam arti, saya bisa masuk dari luar bandara ke area kedatangan dan pengambilan bagasi; misalnya untuk mengembalikan kunci mobil).
Kesimpulan
Tidak peduli seberapa indah saya mendeskripsikan penerbangan ini, tetap saja secara keseluruhan penerbangannya bisa dibilang fungsional.
Walaupun pelayanannya sendiri bagus untuk standar kelas ekonomi regional dan rutenya melewati beberapa perhentian unik, keterbatasan pesawatnya sendiri membuat ini kurang nyaman dinaiki sepanjang hari seperti yang saya naiki dan lebih lagi untuk mereka yang terbang dari/ke daerah terpencil tersebut.
Sama seperti beberapa penerbangan unik lain yang saya ulas, saya sendiri menyarankan penerbangan ini sebagai pengalaman sekali seumur hidup dan bukan untuk penerbangan sehari-hari di dalam Australia (kecuali Anda memang pergi ke tujuan dalam rute penerbangannya).
Wah kayaknya Pak Eric ini bener2 suka terbang, aviation geek kali ya, karena kalau saya baca saja sudah menyerah Banyak transit, ndak tahan… Lounge juga tdk tertarik. Makan di pesawat juga sering malas. Cuma tidur doang. Mau nya cuma tiba last minute trus pas mendarat langsung cabut
Halo D,
Betul, penerbangannya sendiri cukup brutal dibandingkan dengan, misal, kelas ekonomi Garuda Indonesia atau bahkan Batik Air dengan waktu tempuh serupa, jadi kalau tidak betul-betul suka terbang dan tidak ada keperluan ke sana bisa dibilang hampir tidak mungkin akan mencoba rute ini.
wah seru ya hu, not for everyone, tp pengen cobain penerbangan island hopping , d polinesia kyknya seru hu, hehe