Sebagai bagian dari reposition saya demi mencoba Qantas first class, saya memilih untuk terbang di kelas bisnis (business class) Garuda Indonesia dari Bali (DPS) ke Melbourne (MEL).
Ini adalah penerbangan ke-2 dari seri 6 penerbangan dalam perjalanan saya ke Amerika Serikat di bulan Juli 2023 lalu.
Anda mungkin bertanya โKenapa pergi ke Amerika tapi lewat Australia?โ dan hal tersebut wajar – selain Paulo (yang berbasis di Denpasar), rekan-rekan di PinterPoin juga sudah menganggap rutenya sedikit aneh.
Walaupun begitu, saya perlu terbang kali ini supaya saya bisa tiba di Sydney (SYD), dimana saya berkesempatan terbang di kelas utama (first class) Qantas menuju Los Angeles (LAX).
Award Qantas first class sendiri, khususnya yang bisa diakses oleh maskapai rekanan, merupakan salah satu award yang sangat sulit didapatkan (kalau Anda sampai bisa melihat award tersebut, wajib ditebus dengan segala cara), sehingga perjuangan ini masih worth it.
Penerbangan ini dipesan di situs Garuda Indonesia 2 hari sebelum berangkat, dan segmen ini sendiri memerlukan 54.000 GarudaMiles + pajak dan tuslah bahan bakar (fuel surcharge) sedikit kurang dari Rp2.000.000.
Patut diperhatikan, GarudaMiles mengenakan jumlah miles berdasarkan jarak tiap segmen penerbangan, jadi ketika saya menukarkan miles dari Jakarta (CGK) seperti di bawah total jumlah miles yang dibutuhkan adalah jumlah miles di segmen penerbangan Garuda Indonesia rute Jakarta (CGK) – Bali (DPS) ditambah dengan jumlah miles di segmen Bali (DPS) – Melbourne (MEL).
Sebelum Berangkat
Karena saya masih ada rapat di kantor bahkan sebelum ke bandara, saya melakukan proses check-in di bandara Jakarta (CGK) alih-alih “work from Bali“.
Tas saya di-tag terus sampai ke Melbourne (MEL) dengan dua tag bagasi sekaligus, prioritas dan transfer pendek (waktu koneksi 1 jam 55 menit; dibandingkan dengan waktu koneksi minimum 1 jam 30 menit di sistem).
Berikut pas naik (boarding pass) saya untuk perjalanan dari Jakarta ke Melbourne; pas naik untuk penerbangan ini sendiri berada di bawah.
Saya tidak sedang ingin mengulas penerbangan sebelumnya dari Jakarta (CGK) karena saya lebih memilih istirahat dan penerbangannya sendiri sangat standar.
Begitu saya tiba di area kedatangan domestik, sudah ada petugas yang mengumpulkan penumpang untuk koneksi internasional. Karena Garuda tidak terbang setiap hari dari Jakarta (CGK) ke Australia atau beberapa tujuan internasional lain, transit melalui bandara Bali (DPS) menjadi alternatif untuk terbang di hari-hari lain.
Setelah semua penumpang terkumpul, petugas pun mengarahkan kami ke terminal internasional.
Anda yang pernah transit antarterminal di bandara Bali (DPS) tentu tahu seberapa jauh jalannya. Untungnya, sebagai penumpang kelas bisnis saya mendapatkan prioritas untuk menaiki buggy di sebagian perjalanan.
Sebagai penumpang transfer saya tetap perlu pergi melalui area check-in internasional yang saat itu cukup ramai, tapi tidak perlu mampir lagi ke konter dan bisa langsung menuju area pemeriksaan.
Setelah melewati proses pemeriksaan keamanan dan imigrasi yang relatif lama (kira-kira 15 menit), saya langsung berbelok ke kiri menuju jalan pintas ke area keberangkatan tanpa melewati toko bebas bea.
Dengan jalan pintas tersebut, saya akhirnya bisa mandi di lounge Garuda Indonesia (yang tidak akan saya ulas di sini karena hanya untuk menumpang mandi) dan begegas menuju gerbang keberangkatan.
Biasanya tidak ada peneriksaan lagi di gerbang keberangkatan, namun karena ini penerbangan rute Australia ada pemeriksaan ulang untuk cairan.
Kalau pemeriksaannya nampak ramai, itu karena penerbangan ini sangat penuh di kelas ekonomi dan cukup penuh di kabin depan kelas bisnis (lebih banyak alasan untuk memilih kabin kedua saat terbang di pesawat ini nanti).
Saat itu proses naik pesawat sendiri sudah dimulai bagi penumpang kelas ekonomi, yang untungnya cukup cepat.
Seperti biasanya, Garuda melakukan proses naik pesawat dengan 2 garbarata, yang salah satunya dikhususkan bagi penumpang kelas bisnis.
Di Dalam Penerbangan
Perkenalan Kursi
Saya harusnya duduk di 10A, kursi kelas bisnis angled lie flat jendela bulkhead.
Karena kabin kelas bisnis kedua ini hampir kosong, saya akhirnya duduk di 11A/C, sepasang kursi kelas bisnis angled lie flat di jendela dan lorong.
Ruang kaki kursi ini cukup lega, walaupun nanti saat kursinya rebah sampai maksimal kakinya sedikit sembunyi di sudut kursi. Di bagian depan kursi sendiri terdapat layar hiburan, gantungan baju dan beberapa tempat penyimpanan terbuka.
Di sisi kiri kursi terdapat kendali yang relatif standar; dalam arti, tidak terlalu banyak fitur tapi sudah cukup untuk penerbangan pendek ini.
Di antara kursi terdapat lampu baca individu yang bisa disesuaikan dan partisi kecil apabila Anda duduk di sebelah orang lain. Stopkontak headphone yang sudah mendukung headphone noise-cancelling, USB-A, dan (ciri kursi lama) LAN juga bisa ditemukan di sini.
Remote dan tempat penyimpanan tambahan bisa diakses di dekat partisi, bawah sandaran tangan tengah.
Sesuai standar di jenis kursi ini, meja utama dikeluarkan dari tengah kursi dan berukuran relatif standar untuk kelas bisnis.
Stopkontak AC tersedia di antara kursi, dan hanya bisa digunakan setelah lepas landas sampai sebelum mendarat. Seperti di pesawat Boeing 737-800, stopkontak AC hanya tersedia di kursi kelas bisnis.
Bacaan di penerbangan kali ini terdiri dari kartu petunjuk keselamatan, kantong mabuk udara, dan katalog belanja bebas bea di pesawat.
Saya mungkin sedikit curang dengan mengambil foto dari penerbangan lain, tapi selain sandal sendiri amenity yang ditawarkan di penerbangan ini sama (amenity kit dan headphone yang bukan hanya tidak noise-cancelling, namun juga kualitasnya dipertanyakan).
Tradisi mewajibkan saya berfoto dengan kursinya. Mengingat konfigurasinya yang 2-2-2, kursinya memang tidak terlalu lebar.
Penerbangan
Begitu saya duduk, saya ditawarkan minuman selamat datang (welcome drink) dan juga saya meminta sampanye. Garuda Indonesia saat itu menggunakan sampanye Henriot Brut Souverain.
Video petunjuk keselamatan diputar saat kami bergerak menuju landasan pacu.
Lampu di kabin kelas bisnis digelapkan untuk persiapan lepas landas. Ini berbeda dari kelas ekonomi, dimana lampu hanya diredupkan.
Kami meninggalkan Bali ke arah timur sebelum akhirnya berbelok ke arah tenggara menuju Australia.
Lampu tanda kenakan sabuk pengaman dimatikan beberapa menit setelah lepas landas, diikuti dengan iklan dari salah satu bank BUMN di layar hiburan.
Selimut ditawarkan ke tiap penumpang setelah lepas landas, yang tidak berbeda jauh dengan selimut standar di rumah.
Saya membuat kasur di kursi 11A supaya bisa langsung tidur setelah selesai makan, jadi saya berpindah ke kursi 11C untuk makan dan bekerja sesaat.
25 menit setelah lepas landas, layanan kudapan dimulai dengan minuman pilihan saya setelah lepas landas (sparkling water; Garuda membawa Aqua Reflections sebagai sparkling water standar) dan amuse bouche berupa tartlet.
Setelah amuse bouche terdapat beberapa opsi kudapan, namun saya memilih sate dengan bumbu kacang dan lontong.
Di satu sisi saya lebih memilih tidur agak lama daripada dibangunkan untuk sarapan, tapi saya masih wajib mengulas penerbangan ini jadi saya meminta โsarapanโ disajikan langsung setelah kudapan.
Sarapan di penerbangan ini relatif standar, dimulai dari buah potong, roti, dan yogurt.
Salah satu kelebihan Garuda Indonesia kelas bisnis di rute jarak menengah maupun jauh adalah telur yang dimasak langsung di pesawat sesuai permintaan oleh chef on board. Saya meminta telur mata sapi, yang disajikan dengan pendamping khas sarapan gaya Barat dan bonus kearifan lokal (baca: hamnya bukan babi).
Berikut menu makanan di penerbangan ini:
Makan malam ringan:
- Amuse: Tartlet tomat ceri dan ham
- Kudapan: Pilih satu dari:
- Sate ayam,
- Tortilla,
- Bakmi rebus “godok”, atau
- Potongan buah,
- Minuman: Bervariasi, non-alkohol atau alkohol
Sarapan:
- Buah: Potongan buah
- Pembuka: Yogurt buah
- Roti: Variasi roti sarapan
- Hidangan utama: Pilih satu dari:
- Crepe dengan apel dan kayu manis
- Nasi kuning
- Telur yang langsung dimasak di pesawat dengan pendamping (asparagus, kacang panggang, kentang hash brown, ham sapi, dan sosis ayam), pilih dari telur:
- Telur dadar, atau
- Telur mata sapi
- Minuman: Bervariasi, non-alkohol atau alkohol.
Saya sering merasa layanan makan di Garuda kelas bisnis relatif tanggung, dan tidak terkecuali di penerbangan ini.
Pelayanannya sendiri memang efisien untuk kasus saya (saya selesai kedua makan tersebut 1 jam 10 menit setelah lepas landas) dan di atas kertas sudah seperti seharusnya, tapi presentasi dan rasa makanan sendiri masih bisa diperbaiki.
Kalau bukan karena telur yang dimasak langsung di menu sarapan, saya kedepannya lebih memilih menu masakan Indonesia yang sudah jadi (misal, nasi kuning) atau bahkan tidur sampai mendarat tanpa makan.
Setelah makan saya mengisi form kedatangan Australia yang dibagikan di pesawat.
Begitu kartu kedatangan sudah terisi saya mencoba menulis draf ulasan ini, namun gagal karena rasa kantuk setelah perjalanan dan transit yang relatif panjang (maaf karena fotonya dalam keadaan bergoyang).
Pesawat Airbus A330-300 lama milik Garuda (dalam teori) memiliki Wi-Fi, namun saat ini tidak diaktifkan lagi, sehingga menjadi salah satu alasan tambahan untuk tidur.
Saya hanya sempat tidur kurang lebih 3 jam sebelum video pengumuman bea cukai Australia mulai diputar.
Sesaat sebelum mendarat, saya cukup โberuntungโ mendapatkan form feedback dari purser penerbangan ini (dan sudah beberapa kali juga sebelum ini; Tidak tahu juga apakah karena saya sedang mengulas penerbangan).
Lampu kabin dibuat terang lagi untuk persiapan akhir sebelum proses mendarat. Ini satu-satunya waktu dimana kabin kelas bisnis dibuat terang saat di udara; sebelum itu masing-masing penumpang bisa menggunakan lampu baca kalau membutuhkan.
Sebelum saya lupa, sebelum saya mendarat saya melihat peta penerbangan yang relatif sederhana ini.
Saya tidak tahu apa penyebabnya (dan tidak terlalu berefek juga selain informasinya terpotong), tapi panel informasi di bawah hampir selalu tertumpuk dengan peta di sistem hiburan Garuda (ini berlaku juga di pesawat lain).
Saya juga menyempatkan diri melihat koleksi musik di sistem hiburan (tentunya musik klasik, seperti di berbagai ulasan penerbangan saya yang lain), dan pilihannya sendiri agak tanggung.
Lampu kabin kembali dimatikan, sehingga pemandangan Melbourne dari atas bisa nampak dengan jelas.
Proses pendaratan berlangsung lancar, dan kami mulai berjalan ke terminal internasional yang sudah cukup banyak dihuni pesawat bahkan ketika pagi hari sekali.
Seperti biasa, di Australia, setelah menunggu beberapa menit kami baru diizinkan turun pesawat, yang saat itu dilakukan melalui garbarata depan dan belakang.
Begitu keluar pesawat saya langsung diterpa udara yang cukup dingin di garbarata mengingat saat itu awal musim salju (dan tentunya saya tiba dalam keadaan memakai celana pendek karena dari Bali).
Kedatangan
Australia memisahkan penumpang yang baru tiba dengan penumpang yang akan berangkat, sehingga saya langsung pergi ke area pemeriksaan imigrasi.
Untungnya area pemeriksaan imigrasitidak terlalu ramai, sehingga tidak terlalu lama walaupun saya harus melalui proses manual.
Entah kenapa paspor saya pasti masuk pemeriksaan sekunder saat melewati imigrasi Australia, tapi bahkan dengan itu pun proses imigrasi hanya memakan beberapa menit, dan setelah itu saya bisa langsung pergi menuju area pengambilan bagasi.
Begitu saya tiba di area pengambilan bagasi tas-tas prioritas sudah mulai keluar.
Tas saya tiba hanya dalam 10 menit setelah saya turun dari pesawat dan kurang dari 1 menit setelah saya tiba di area pengambilan, yang termasuk cukup cepat.
Proses bea cukai sendiri tidak memakan waktu lama, dan akhirnya saya tiba di area umum kedatangan.
Saya tentu berharap bisa di Melbourne sedikit lebih lama, tapi karena spa di Qantas International First Lounge Sydney sudah menunggu saya langsung melanjutkan perjalanan ke terminal 1 untuk penerbangan ke Sydney (SYD).
Kesimpulan
Penerbangan Garuda Indonesia business class dari Bali (DPS) ke Melbourne (MEL), walaupun relatif fungsional, terasa kurang nyaman.
Selain kursinya yang sudah berumur dan tidak sepenuhnya lie-flat serta tidak adanya Wi-Fi untuk bekerja, layanan 2x makan sendiri terlalu dipaksakan untuk penerbangan yang hanya 5 jam (Singapore Airlines saja hanya memberikan 1 layanan makan di first class dengan waktu tempuh serupa).
Jadwal penerbangan Garuda Indonesia yang selalu terbang red-eye dari Indonesia ke Australia juga membuat saya tiba masih dalam keadaan capek walaupun memang hal yang sama juga berlaku untuk penerbangan ke Indonesia bagian timur.
Walaupun begitu, patut diingat bahwa nilai jual Garuda Indonesia di rute Bali – Melbourne ini bukanlah dari produknya, namun jadwal yang “efisien” bagi pelancong, rute yang efisien, dan juga ketersediaan kursi yang bisa ditebus menggunakan miles yang banyak.
Singkat kata, selama Anda tidak berharap terlalu banyak, penerbangan Garuda Indonesia business class ini bisa dibilang sudah cukup.