Salah satu highlight perjalanan keliling dunia saya pada Agustus 2023 lalu adalah terbang di Lufthansa First Class.
Selain karena pengalamannya sendiri dan perjuangan khusus untuk mendapatkan ini, Lufthansa juga memiliki nilai historis bagi saya: Penerbangan jarak jauh pertama saya 21 tahun lalu adalah dari Jakarta (CGK) ke Frankfurt (FRA) lewat Singapura (SIN) dengan Lufthansa di Boeing 747 kelas ekonomi dan sekarang pengalamannya sedikit banyak “terulang” lagi.
Ini adalah penerbangan ke-4 dari seri 14 penerbangan dalam perjalanan saya keliling dunia pada Agustus 2023.
Walaupun terkenal legendaris, Lufthansa First Class sendiri termasuk relatif mudah diakses dengan miles asalkan Anda bisa sangat, sangat fleksibel.
Mulai dari 2 minggu sebelum jadwal keberangkatan, Lufthansa akan mulai membuka ketersediaan kursi award (award seat) yang bisa diakses oleh program rekanan termasuk KrisFlyer.
Hanya saja, kapan kursinya dibuka untuk rekanan sendiri tidak persis di H-2 minggu dan ini mungkin tidak masalah bagi yang tinggal di Eropa, tetapi:
- Sangat tidak disarankan untuk terbang dari Amerika Serikat karena Lufthansa mengenakan tuslah bahan bakar (fuel surcharge) yang ekstrem untuk penerbangan dari AS (sampai US$900 dan itu belum termasuk pajak dan biaya lain-lain)
- Ketersediaan kursi baru mulai terlihat 1 minggu sebelum berangkat atau bahkan H-3
- Kalau Anda mulai dari Asia seperti saya, jangan harap masih ada award “Saver” di KrisFlyer untuk penerbangan Singapore Airlines dari Singapura ke Jerman/Turki/Inggris semendadak itu (baca: selamat bergantung pada Thai Airways yang fuel surcharge-nya sangat mahal kecuali mendadak muncul penerbangan fifth freedom EVA Air).
Saya memesan penerbangan ini secara manual melalui telepon/chat kurang lebih 1 minggu sebelum saya terbang (tiketnya memang betul terakhir diutak-atik H-2, tapi segmen ini sendiri dipesan H-1 minggu) sebagai bagian dari perjalanan saya dari Bangkok (BKK) ke Washington (IAD).
Keseluruhan perjalanan di atas membutuhkan 167.500 KrisFlyer Miles + entahlah berapa pajak dan fuel surcharge yang sulit dilacak karena tiketnya sendiri sudah diganti berkali-kali.
Apabila dipesan sendiri, penerbangan ini memerlukan 121.000 KrisFlyer miles + โฌ392,49 (~Rp6.550.000), atau mulai dari Rp126.700.000 kalau dipesan dengan uang tunai, jadi minimal saya mendapatkan valuasi penukaran Rp993/mile, lebih dari 5x lipat valuasi KrisFlyer miles menurut PinterPoin.
Sebelum Berangkat
Karena saya memulai perjalanan ini dari Bangkok (BKK), proses check-in sendiri dilakukan di bandara Bangkok (BKK) dimana tas saya sudah diarahkan langsung menuju Washington (IAD).
Berikut pas naik (boarding pass) saya untuk penerbangan dari Bangkok (BKK) ke Washington (IAD) di atas stok kertas EVA Air; pas naik saya untuk penerbangan kali ini berada di paling depan.
Setelah mengunjungi Lufthansa First Class Lounge dan menikmati pengalaman diantar menuju ke pesawat paling mengasyikkan seumur hidup (kapan lagi diantar sampai ke depan pesawat menggunakan mobil Porsche pribadi), saya langsung tiba di bawah pesawat Boeing 747-8i yang berumur 9 tahun.
Setelah diantar ke lift, saya masuk pesawat dari garbarata depan.
Tak lama kemudian saya tiba di pesawat.
Di Dalam Penerbangan
Perkenalan Kursi
Begitu masuk ke kabin first class, ada plakat yang dihias dengan mawar segar.
Kabin first class berada di depan pesawat, dan terdiri dari 8 kursi dengan konfigurasi 1-1 di 2 baris pertama dan 1-2-1 di baris ketiga.
Sesuai tradisi di PinterPoin saya duduk di kursi 1A, kursi suite terbuka jendela standar, dan juga salah satu dari sangat sedikit kursi pesawat yang tersisa di dunia dimana penumpang duduk di depan pilot.
Karena Lufthansa first class menggunakan kursi yang benar-benar terbuka, ruang kaki sendiri tidak menjadi masalah sama sekali.
Kursi ini memiliki ottoman. Ottoman ini sendiri tidak bisa dijadikan kursi pendamping seperti di kursi first class lain (misal Japan Airlines atau Qatar Airways), tapi merupakan tempat penyimpanan yang cukup longgar saat dibuka.
Di atas ottoman sendiri terdapat layar TV, almpu, dan juga vas berisi setangkai bunga mawar (dan saya baru tahu bahwa bunga mawar segar itu merupakan tradisi Lufthansa sejak cukup lama).
Di sebelah kursi sendiri terdapat meja kecil untuk minuman.
Kantong bacaan sendiri berada persis dibawah meja kecil tersebut.
Di sebelah kursi sendiri terdapat 2 tempat penyimpanan.
Kedua tempat tersebut tidak terlalu besar, namun cukup dalam. Sampai hari ini saya masih belum mengerti kenapa tempat penyimpanannya tidak diperbesar, selain supaya sama dengan kursi non-jendela.
Di dalam sandaran tangan kiri sendiri terdapat remote kendali hiburan yang sudah cukup usang.
Di sandaran tangan sebelah kanan tersimpan juga kendali kursi; berbeda dengan bahkan berbagai kursi kelas bisnis modern, opsi kendalinya bisa dibilang sederhana.
Kursi yang besar tentunya perlu dipasangkan dengan meja yang besar, dan meja kali ini sudah lebih dari cukup.
Di sandaran tangan sisi dekat jendela sendiri terdapat bukan hanya 1, tapi 2 stopkontak AC.
Selain di atas kabin, lampu baca juga bisa ditemukan di sebelah sandaran kepala, dan juga tempat botol air tersembunyi di belakang kursi.
Menurunkan dan menaikkan 4 jendela pasti tidak praktis, jadi di sini jendelanya menggunakan tirai elektrik.
Seperti biasa, berikut foto saya saat duduk di kursi tersebut. Kursinya tidak nampak baru, itu pasti, tapi nyaman dan cukup luas.
Penerbangan
Di kabin first class ada seorang pramugara yang bertugas bernama Marco. Setelah memperkenalkan diri, ia pun menawarkan minuman selamat datang.
Karena sampanyenya di darat sama dengan di udara (Laurent-Perrier Grand Siecle; sebagai perbandingan, Japan Airlines first class menyajikan sampanye Salon maupun Lanson di udara dan “hanya” Drappier di darat), saya pun memilih sampanye.
Minuman selamat datang disajikan bersamaan dengan kacang makadamia.
Minuman selamat datang sendiri kemudian ditaruh di meja di tengah kabin. Selain sampanye standar, Lufthansa juga menyajikan sampanye rose berupa Laurent-Perrier Grande Cuvee Rose Alexandra 2007 yang sayangnya belum sempat saya coba.
Di kursi sendiri terdapat earphone yang kabelnya sudah diikat ke kursi, kartu petunjuk keselamatan, kantong mabuk udara, amenity kit dari Porsche Design, dan sandal yang solnya sangat tebal.
Selain menu makanan dan minuman, saya juga diberikan baju dan celana tidur serta voucher Wi-Fi.
Setelah mundur kami mulai meninggalkan area gerbang A/Z menuju landasan pacu.
Video informasi petujuk keselamatan diputar sambil kami berangkat.
Karena Frankfurt (FRA) merupakan “rumah” pesawat Boeing 747 milik Lufthansa (saat itu semua penerbangan dengan kabin first class menggunakan pesawat Airbus A340-600 maupun A380 sendiri berpusat di Munich (MUC)), kami juga melewati pesawat Boeing 747-8 dengan livery vintage.
Kami lepas landas 1 jam 15 menit setelah jadwal awal penerbangan.
Di beberapa menit pertama sendiri kami menanjak cukup pelan, jadi pusat kota Frankfurt masih dapat terlihat dengan jelas.
Layanan makan siang sendiri dimulai 30 menit setelah lepas landas dengan handuk basah.
Sebelum makan meja saya ditata dan amuse bouche berupa daging burung puyuh disajikan. Makan siang kali tentunya ditemani dengan sparkling water.
Berikut menu makan siangnya dalam bahasa Inggris; alternatifnya, Anda bisa membaca menu lengkapnya di sini.
Pembuka, termasuk kaviar, disajikan dari troli.
Kebetulan Marco memberikan kesempatan untuk memfoto trolinya sebelum pembuka mulai disajikan (dan entah kenapa ini menjadi satu-satunya foto dengan partisi kursi dinaikkan di latar belakang).
Kaviar sudah menjadi pembuka yang sangat tradisional saat terbang di first class dan kali ini dipasangkan dengan vodka Grey Goose (saya lebih terbiasa memasangkan kaviar dengan sampanye, tapi kenapa tidak; Lagipula baik kaviar maupun vodka sendiri sama-sama dari Rusia).
Piring variasi pembuka sendiri kemudian disajikan. Pendekatan untuk pembukanya sendiri lebih mendekati pembuka di Japan Airlines first class, walaupun lebih berat dan tentunya dengan gaya Barat.
Seperti di berbagai first class lain (dan sebagian kecil kelas bisnis seperti EVA Air; ingat sup tidak praktis disajikan di pesawat), sup menjadi course terpisah, dan kali ini berupa consomme dengan kerang.
Jerman sendiri cukup terkenal akan wine-nya, jadi untuk mencari wine pendamping hidangan utama Marco pun menawarkan untuk mencoba 2 wine putih dari Jerman: Riesling dan Silvaner.
Saya akhirnya memilih wine Riesling untuk dipasangkan dengan hidangan utama saya berupa ikan turbot.
Di saat ini juga pesawatnya sedang mengalami turbulensi dan ini sempat terjadi beberapa kali di sepanjang penerbangan.
Makan siang sendiri dilanjutkan dengan piring variasi keju, yang (sampai saat ini saya masih belum terbiasa) disajikan dengan saus mangga pedas.
Saya sudah cukup kenyang setelah seharian makan di 3 lounge dan semua hidangan sebelum ini (ingat, ini sudah course ke-7, kalau amuse bouche dihitung sebagai course sendiri) hanya saja saya memilih untuk mencoba mousse supaya Anda bisa melihat gambaran lengkap penerbangan ini.
Baik piring variasi keju maupun penutup sendiri dipasangkan dengan wine penutup berupa Reif Estate Grand Reserve 2017 Vidal Icewine.
Berikut menu makan siangnya:
- Amuse: Daging puyuh dengan jagung dan couscous
- Pembuka: Pilih apapun dari:
- Kaviar dengan pendamping tradisional (dipilih),
- Daging ayam tua dengan rempah-rempah di atas salad asparagus, jel tomat, dan mayonnaise yuzu (dipilih)
- Ikan trout masak gaya tataki dengan kohlrabi semur, seledri, dan kacang mete (dipilih)
- Gulungan wortel yang sudah dimarinasi dengan jel lemon, beri acai kering, yogurt kental, dan potongan roti kering (dipilih)
- Salad dedaunan kecil dengan tomat ceri, pomegranate, dan biji labu, disajikan dengan saus thousand island
- Sup: consomme unggas dengan kerang (dipilih)
- Hidangan utama: Pilih satu dari:
- Steak tenderloin dengan asparagus dan jamur liar
- Ikan turbot fillet dengan potongan kecil bunga kol panggang diatas bunga kol tumbuk dan saus veloute ikan dengan yuzu (dipilih)
- Dada bebek dengan jus bebek gaya Asia, sawi sendok semur, kentang tumbuk masak gaya tandoori, anggur tumis, dan kentang panggang
- Ravioli keju pecorino dengan saus tomat, kemangi goreng, keju parut, dan kacang pinus
- Keju dan penutup: Pilih apapun dari:
- Piring variasi keju (Langres, St. Germain, keju garam batu, keju susu kambing dengan madu, dan Saint Agur) dengan saus mangga pedas, anggur, kacang walnut, dan lobak (dipilih)
- Mousse mangga dan markisa dengan kelapa dan kakao (dipilih)
- Kue tarte tatin dengan vanila.
Makanan di Lufthansa first class bisa dibilang enak, dan setara dengan baik di restoran di luar bandara maupun Lufthansa First Class Lounge.
Pilihan menunya memang tidak terlalu banyak dan bahannya sekilas tidak nampak “mewah” (kecuali kaviar tentunya) namun makanan yang ditawarkan tetap enak, dan dipasangkan dengan wine yang bervariasi serta waktu makan yang tidak terburu-buru (saya selesai makan siang hampir 3 jam setelah lepas landas) say benar-benar menikmatinya.
Kesimpulan saya tetap sama seperti di Qantas first class: “Asalkan Anda tidak masalah dengan masakan gaya Barat, Anda akan suka dengan makanan di penerbangan kali ini”.
Sebetulnya, setelah makan sendiri terdapat layanan praline coklat, walaupun sayangnya saya tertinggal karena makan sedikit lama – pralinenya sendiri baru saya makan kira-kira 50 menit sebelum mendarat.
Setelah makan siang selesai, tentunya ini adalah waktu yang tepat untuk ke kamar kecil.
Kamar kecil di Lufthansa first class sendiri berukuran relatif standar (kecuali di pesawat Airbus A380) namun kali ini dilengkapi dengan jendela dan, seperti di Singapore Airlines Suites, penutup kloset yang bisa dijadikan tempat duduk.
Wastafelnya sendiri setidaknya sudah menggunakan wastafel standar first class lengkap dengan mawar di dinding dan amenity dari Evian dan Augustinus Bader.
Di laci sendiri terdapat lebih banyak stok, walaupun lebih nampak seperti stok di kamar kecil kelas bisnis.
Dari awal penerbangan sendiri kasur saya sudah dibuatkan di kursi sebelah saya. Ingat klaim saya tentang kasur Qantas first class yang enak? Kasur di Lufthansa first class juga termasuk sangat nyaman dan hampir setara dengan kasur di hotel.
Seperti disebutkan di awal, ruang kaki masih tidak menjadi masalah, meski selalu ada sedikit risiko kaki jatuh karena tidak adanya pembatas di tepi ottoman.
Lufthansa sendiri menawarkan akses Wi-Fi berbayar namun sebagai penumpang first class saya mendapatkan akses internet gratis tak terbatas di sepanjang penerbangan.
Sayangnya, akses internetnya sendiri cukup pelan pada penerbangan kali ini.
Dengan Wi-Fi selambat itu, saya perlu kesabaran ekstra saat membuka situs PinterPoin.
Bicara tentang mejanya, walaupun mejanya sendiri cukup kokoh dan besar untuk bekerja, meja yang keluar dari sisi kiri kursi (semua kursi A dan 3G) kurang ideal untuk bekerja dengan mouse karena hanya keluar sampai sebelum sandaran tangan kanan (seperti biasa, saya menggunakan ThinkPad T14 Gen 2 sebagai perbandingan laptop ukuran standar).
Saya tidak mengunduh musik untuk diputar offline dari komputer, jadi seperti biasa saya memilih untuk melihat koleksi musik klasik yang ditawarkan di penerbangan ini. Untungnya, koleksi musik di penerbangan ini bisa dibilang cukup lengkap meskipun sistem hiburannya sudah uzur dan, seperti Wi-Fi tadi, sedikit lambat.
Di perjalanan kami melewati Montreal dan juga bandaranya (YHZ), yang sayangnya juga menandakan penerbangan ini akan segera selesai.
Kurang lebih saat ini juga (1 jam lebih sedikit sebelum mendarat) makanan sebelum mendarat disajikan. Saya kali ini memilih sup parsnip, yang dipasangkan dengan pretzel.
Berikut menu makanan sebelum mendaratnya (dan tidak, tidak ada menu sarapan):
- Makanan ringan: Pilih apapun dari:
- Piring variasi pembuka gaya Timur Tengah (hummus, muhammara, tabbouleh, daun anggur isi, paprika panggang, dan zaitun)
- Burger vegetarian “Beyond Meat” dengan guacamole, saus barbeku, tomat, salad kale, bawang bombai, dan kripik kentang dengan garam
- Sup parsnip dengan bayam dan parutan kentang (dipilih)
- Salad hijau, nanas, pepaya, kacang pecan, dan udang raja tumis dengan saus dressing yogurt limau
- Kudapan manis – pilih dari:
- Es krim vanilla dengan manisan buah aprikot,
- Buah, atau
- Beri
Walaupun supnya nampak sederhana dan bahannya juga relatif biasa, namun diluar dugaan saya cukup enak. Saya sendiri hampir menyesal tidak memesan burgernya, yang menurut ulasan lain juga berkualitas tinggi, tapi itu cerita lain.
Saya juga berkesempatan mencoba beberapa praline yang sebelumnya terlambat saya cicipi.
Kurang lebih di saat itu juga salah satu pramugara senior menghampiri tiap penumpang di kabin first class, memberitahu cuaca di hari itu, dan mengucapkan terima kasih telah terbang.
Bicara tentang pelayanannya sendiri, karena suasana di kabin yang relatif santai, kami sempat berinteraksi sedikit dengan Marco (dan awak kabin yang bertugas tetap dia di sepanjang penerbangan karena durasinya yang tidak terlalu lama).
Interaksinya sendiri tidak terlalu banyak tiap kali, misalnya begitu tahu saya dari Indonesia dia sempat berujar, “Sudah makan?”, dan bercerita sedikit pengalamannya pergi ke Bali sebelum kembali melanjutkan dengan penumpang lain.
Saya hampir lupa dengan peta perjalanannya; karena sistem hiburannya yang sudah tidak lagi baru, petanya tidak bisa diutak-atik dan beresolusi rendah.
Pelayanan di penerbangan ini diakhiri dengan handuk basah, yang diberikan 30 menit sebelum mendarat.
Tradisi mewajibkan saya berfoto di kabin Lufthansa first class dan apabila Anda sempat mengikuti PinterPoin Masterclass sejak Agustus 2023, Anda tentu melihat ini di foto perkenalan saya saat kelas (tentunya sudah termasuk kebahagiaan mendapatkan value ~Rp1.000/mile dari penukaran ini).
Kembali lagi ke perjalanannya. Setelah tanda kenakan sabuk pengaman dikenakan, kami perlahan turun melewati negara bagian Virginia.
Apa yang lebih menarik dari peta? Tentu pemandangan di depan dari kamera.
Sebelum mendarat, kami melewati Steven F. Udvar-Hazy Center, perpanjangan dari museum dirgantara yang ada di Washington, DC.
Proses pergi menuju ke gerbang sendiri cukup cepat, dan pesawat kami akhirnya parkir di gerbang B, diapit dua pesawat maskapai grup Lufthansa lain.
Dengan diangkatnya tangan petugas marshaller, penerbangan ini sayangnya harus berakhir.
Kedatangan
Setelah turun dari garbarata sebagai penumpang yang belum melewati imigrasi AS kami dipisah dari penumpang lainnya di koridor.
Berikut pesawat saya nampak dari luar; kursi saya ada di balik 4 jendela pertama di kabin bawah.
Bandara Washington (IAD) sendiri memiliki konsep yang sangat unik di mana ada bus raksasa yang bisa naik setinggi garbarata dan membawa penumpang ke gedung kedatangan.
Setelah tiba di gedung kedatangan internasional, saya turun menuju area pemeriksaan imigrasi. Karena saya bukan warga AS dan tidak ada imigrasi prioritas, saya baru bisa menyelesaikan proses imigrasi 1 1/4 jam kemudian.
Ini artinya, begitu saya tiba di tempat pengambilan bagasi hanya tersisa sedikit tas di sana.
Tas boleh di-tag prioritas, tapi apa artinya kalau imigrasinya saja memakan waktu lebih dari 1 jam? Bicara tentang tag prioritas, walaupun saya terbang di first class, karena saya pertama terbang dengan EVA Air yang tidak memiliki kelas bisnis tag bagasi saya menggunakan tag prioritas standar kelas bisnis (Priority “F1”, yang itu sendiri sudah merupakan prioritas tertinggi EVA Air).
Setelah mengambil bagasi saya langsung keluar menuju area kedatangan umum.
Area kedatangan umum sendiri terhubung dengan stasiun KRL lewat bawah tanah.
Menaiki KRL di sekitar Washington sendiri cukup mudah; tinggal buat kartu digital SmarTrip di HP yang memiliki NFC (saya menggunakan Android/Google Pay), isi saldo, dan tempelkan untuk masuk.
Dari peron stasiun sendiri nampak gedung utama bandara Washington (IAD) yang didesain Eero Saarinen lebih dari 50 tahun lalu.
Seperti biasa, saya melanjutkan perjalanan ke Sofitel Washington DC Lafayette Square menggunakan KRL.
Kesimpulan
Walaupun bukan produk first class terbaik yang pernah saya coba di hidup saya, kesempatan untuk terbang di Lufthansa first class merupakan salah satu pengalaman terbang favorit saya sepanjang masa.
Kursinya memang tidak begitu kompetitif dibandingkan dengan kursi first class lain seperti Singapore Airlines Suites atau Etihad First Class Apartment dan pengalaman saya mengantre 1 jam di imigrasi masuk AS tentu sangat tidak first class.
Tetapi, pengalaman di darat saat di Jerman, pelayanan saat di pesawat sendiri, sampai ke kasurnya sudah cukup untuk menutupi kekurangan tersebut.
Tambahkan lagi dengan jenis pesawat yang langka dan menjadi idaman pecinta aviasi (avgeek) dan saya tidak heran kenapa banyak blog poin dan miles di luar negeri sangat antusias dengan produk ini.
Apabila Anda berencana terbang dari Eropa ke Amerika Serikat dan bisa sangat fleksibel, Lufthansa first class wajib masuk dalam opsi Anda.
Lengkap banget review nya