Setelah terbang dengan SWISS first class ke New York (JFK), saya perlu melakukan reposition sebelum terbang ke Los Angeles (LAX) untuk terbang dengan Cathay Pacific first class, dan tidak ada cara yang lebih baik untuk menyeberangi benua Amerika utara daripada American Airlines “Flagship First Transcontinental”.
Ini adalah penerbangan ke-24 dari seri 26 penerbangan saya dalam rangka double round the world saya di bulan Maret dan April 2024.


American Airlines first class transkontinental (atau biasa disebut “Flagship First Transcontinental”) merupakan satu-satunya produk first class 3 kelas (di atas kelas bisnis) di rute domestik di Amerika Serikat. Produk ini menawarkan:
- Layanan prioritas (termasuk naik pesawat paling awal dan konter check-in premium terpisah),
- Akses menuju lounge ultrapremium seperti Chelsea Lounge di New York (JFK) maupun Qantas First Class Lounge Los Angeles (LAX), walaupun tanpa pendamping,
- Kursi flatbed dengan akses langsung ke lorong, dan
- Hidangan “premium”.
Saya memesan penerbangan ini secara manual melalui WhatsApp Cathay Pacific di hari keberangkatan dan memerlukan 53.000 Asia Miles + pajak dan tuslah bahan bakar (fuel surcharge) HK$44 (~Rp88.000). Apabila dipesan dengan uang tunai penerbangan ini memerlukan lebih dari Rp25.700.000 sekali jalan, jadi saya mendapatkan valuasi Rp483/mile, lebih dari 3x lipat valuasi Asia Miles menurut PinterPoin.

Sebelum Berangkat
Perjalanan saya dimulai dengan mengambil laptop yang tertinggal saat terbang dengan SWISS first class di kantor bagasi grup Lufthansa.

Dari terminal 1 saya berpindah ke terminal 8 untuk check-in di area check-in premium American Airlines. Karena areanya yang eksklusif, saya perlu menunjukkan paspor sebelum nama saya diperiksa di daftar dan saya bisa masuk.

Area check-in sendiri hanya terdiri dari beberapa konter, tapi setidaknya proses check-in dilakukan duduk alih-alih berdiri di konter.

Koper check-in saya dari Baller kembali di-check-in, dan nantinya akan mendapatkan tag prioritas umum.
Berikut pas naik (boarding pass) saya untuk penerbangan sore itu.

Pintu keluar area check-in premium langsung tembus ke antrean pemeriksaan keamanan. Masalahnya, karena saya tidak memiliki akses TSA PreCheck, saya diarahkan ke antrean normal seperti penumpang kelas ekonomi tanpa akses spesial lainnya.

Setelah proses pemeriksaan selama kira-kira 20 menit saya tiba di area keberangkatan.

Anda mungkin bertanya, kenapa saya menghabiskan 20.000 miles ekstra untuk terbang di first class kalau kelas bisnis saja sudah flatbed (yang dua-duanya tidak begitu longgar juga), dan sama-sama mendapatkan akses lounge – jawabannya tentu adalah untuk mengakses Chelsea Lounge yang eksklusif (seeksklusif Concorde Room di London (LHR)), di mana American Airlines first class transkontinental merupakan cara termurah untuk mengakses lounge tersebut.

Kurang lebih 25 menit sebelum jadwal keberangkatan saya pergi ke gerbang, yang untungnya berada di gedung utama alih-alih satelit.

Penerbangan kali ini dioperasikan oleh Airbus A321-200 yang saat itu berumur 9 tahun.

Saat saya tiba di gerbang keberangkatan saat itu sudah proses naik pesawat untuk penumpang kelas ekonomi, dan saat itu tidak terlalu mengantre.

Pesawat A321 dalam konfigurasi transkontinental memiliki jumlah penumpang yang sangat sedikit, jadi tidak ada antrean masuk pesawat di garbarata.
Di Dalam Penerbangan
Perkenalan Kursi
Karena sedikit keterbatasan foto, saya akan meminjam beberapa foto produk dari penerbangan American Airlines first class transkontinental sebelumnya saat pertama kali round the world (tapi masih sama dengan yang saya naiki).
Setelah melewati Trevor selaku awak kabin di kabin first class kali ini saya tiba di kabin first class. Pesawat Airbus A321-200 konfigurasi transkontinental American Airlines memiliki 10 kursi first class di antara pintu depan dan pintu kedua.

Saya duduk di kursi 4A, kursi reverse herringbone jendela sekaligus lorong. Nampak seperti kelas bisnis? Memang (kursi yang betul-betul first class hanya tersedia di pesawat Boeing 777-300ER tertenty), tapi bedanya semua kursi first class memiliki akses langsung ke lorong alih-alih kursi kelas bisnis yang disusun dalam konfigurasi 2-2.

Kursi ini tentu mengingatkan akan kursi di kelas bisnis EVA Air, hanya saja dengan cangkang kursi yang sedikut lebih tertutup.
Seperti di kelas bisnis pada umumnya, ruang kaki cukup longgar untuk berselonjor, namun tidak sampai untuk bisa berguling di kursi.

Ottoman di bawah kursi tidak terlalu tinggi mengingat di atas ottoman terdapat meja untuk kursi di depan.

Area penyimpanan terbuka bisa ditemukan di dekat ottoman.

Layar hiburan terdapat di depan kursi. Karena ini merupakan kursi reverse herringbone generasi agak lama, layarnya harus ditaruh di dinding kursi saat lepas landas maupun mendarat.


Di atas ottoman untuk penumpang di belakang saya terdapat meja kecil untuk menaruh minuman dan amenity, yang juga menyimpan meja lipat.

Tempat penyimpanan terbuka lain bisa juga ditemukan di dinding kursi, di mana di situ juga terdapat stopkontak AC.

Semakin dekat dari kursi saya bisa menemukan remote kendali layar hiburan, lampu baca individu, kendali kursi, dan juga stopkontak headphone.
Meja lipatnya cukup untuk bisa menikmati makan sore dan bekerja dengan mudah, walaupun memang karena rangka kursinya standar kelas bisnis tidak banyak yang (bisa) berubah.

Berbeda dengan kursi EVA Air yang terbuka atau Cathay Pacific dengan cangkang yang lebih besar di sisi kepala, American Airlines memilih sisi samping yang tidak terlalu menonjol.
Sandaran tangan di sisi lorong dapat diturunkan untuk memudahkan akses, atau dinaikkan untuk menopang tangan.

Bacaan di penerbangan ini terdiri dari panduan hiburan, kartu petunjuk keselamatan, dan kantong mabuk udara.

Seperti biasa, berikut saya di kursinya. Sialnya kantong mata saya sudah cukup muncul saat di penerbangan ini, sehingga kantuk pun terus menerus memanggil.
Penerbangan
Seperti biasa, di pesawat Airbus A321 terdapat katup udara, yang sedikit banyak membantu menjaga kabin tetap sejuk (tapi ini di Amerika, jadi tidak dibuka pun tetap cukup sejuk kabinnya 😀 )
Di kursi sudah disediakan headphone standar American Airlines Flagship, amenity kit dari Shinola, dan juga air minum. Amenity kit yang disediakan bisa dibilang berada di tengah Flagship Business (yang kempes) dan Flagship First International (yang kemasannya lebih bagus).

Seperti standar di American Airlines Flagship, headphone di penerbangan ini berkualitas sangat tinggi, sama seperti yang digunakan di Singapore Airlines First Class atau Suites. Perbedaannya, headphone yang disediakan American Airlines menggunakan 1 pin 3,5 mm (baca: pin headphone standar) dan karena takut dibawa pulang, diambil sekitar 1 jam sebelum tiba.


Untuk minuman selamat datang, saya meminta air, yang setidaknya dituang dalam gelas kaca (di kelas bisnis airnya dituang di gelas plastik).

Video petunjuk keselamatan diputar dari layar di atas kabin saat kami mulai meninggalkan gerbang.

Lampu kabin diredupkan untuk lepas landas.

Saat kami pergi menuju landasan pacu nampak pesawat Airbus A380 milik Lufthansa yang harusnya mengantarkan saya dari Munich (MUC).

Kami lepas landas kira-kira 15 menit setelah jadwal awal keberangkatan, dan dari jauh nampak gedung-gedung di Manhattan.

Segera setelah lepas landas saya tidur entahlah dalam posisi apa (kemungkinan besar tidak dalam keadaan datar), tapi berikut kursinya saat diubah menjadi kasur dengan bedding dari Casper.

Ruang kaki sendiri sedikit terbatas di ottoman, namun sudah cukup untuk standar kelas bisnis.

Mulai penerbangan ini saya sudah mulai dihantui kekurangan tidur, jadi saya tidur selama 3 jam sebelum memanggil Trevor dan meminta untuk mulai makan sore (entah ini kesialan saya di American Airlines first class, tapi di penerbangan serupa tahun sebelumnya saya juga mengalami hal yang sama).

Makan sore dimulai dengan kacang dan juga acar zaitun.

Saya memilih untuk tidak makan salad, jadi langsung disajikan pembuka dan sup bersamaan dengan setting meja. Karena kita bicara tentang American Airlines yang menggunakan baki bahkan di first class internasional, hal yang sama juga berlaku di first class transkontinental.

Saya bingung memilih hidangan utama mana, jadi setelah meminta saran Trevor (dan hanya ditunjuk menunya) saya memilih domba dengan nasi.

Kalau ada sesuatu yang (hampir) tidak mungkin gagal, itu tentu sundae es krim.

Makan sore kali ini selesai hanya 45 menit setelah dimulai.
Berikut menu makan sore untuk penerbangan kali ini:
- Pembuka: Pilih dari:
- Salmon asap dengan saus aioli wasabi, andewi, kentang kecil, dan edamame (dipilih), atau
- Timbale wortel dengan saus harissa, disajikan dengan salad variasi bebijian,
- Salad: Salad dengan strawberry, keju kambing, dan biji bunga matahari panggang, disajikan dengan saus dressing (pilih satu):
- Lemon dill, atau
- Cuka balsamik,
- Sup: Sup keju bir dengan potongan roti pretzel panggang kering (dipilih),
- Hidangan utama: Pilih dari:
- Iga domba bersalut mustard dan pistachio pesto, nasi hitam, dan sayur dedaunan (dipilih),
- Ayam isi selada kale, keju kambing, kranberi, couscous Israel, zukini, dan tomat tumis,
- Kakap panggang miso saba dengan wijen panggang, kentang tumbuk, jamur shimeji, kubis savoy, dan wortel kecil, atau
- Lasagna terong dengan saus alfredo dan tomat,
- Roti: Variasi roti,
- Penutup: Pilih dari:
- Sundae es krim vanila “Haagen-Dazs” dengan saus fudge panas, butterscotch, topping beri, krim kocok, dan kacang pekan cincang (dipilih).
- Piring variasi keju dengan pendamping, atau
- Kue mentega lengket dengan manisan rhubarb stroberi dan es krim vanila,
- Minuman: Bervariasi, alkohol maupun non-alkohol.
Secara keseluruhan makannya sendiri terasa tidak berbeda jauh dengan kelas bisnis, kecuali mungkin di course sup. Seperti pada umumnya di Amerika Serikat, makanan di penerbangan kali ini cenderung “berat” seperti sup keju yang cukup kental dan juga sundae yang sangat manis, jadi bisa dibilang sesuai ekspektasi – substansial, tapi tidak sampai ke bahan atau presentasi yang betul-betul premium.
Masalah utama saya di penerbangan ini adalah pelayanannya yang sangat ala kadarnya. Saya tentu tahu makan di luar jadwal cukup berat bagi awak kabin (dan ini bukan Etihad atau Qatar Airways yang memang menyediakan layanan dine on demand), tapi setidaknya tidak sampai ke level setengah agresif. Sebagai contoh, saat saya sudah selesai makan saya hanya ditanya, “Sudah, bakinya?” alih-alih setidaknya memastikan saya sudah selesai atau (karena dia sendiri yang menyarankan; ingat ini first class) menanyakan bagaimana makanannya. Bukan hanya itu, setelah saya bangun tidur juga tidak ada yang memeriksa sampai saya perlu memanggil hanya untuk meminta makan siangnya. Kembali lagi, ini pelayanan ala Amerika, jadi mungkin saya perlu sedikit lebih terbiasa.
Sambil makan sore saya sambil mencoba akses internet di pesawat ini. Pesawat ini dilengkapi dengan Wi-Fi.
Wi-Fi di penerbangan ini berfungsi sebagai sistem hiburan sekaligus untuk akses internet. Akses internet disediakan gratis selama 20 menit/perangkat (tidak peduli status atau kelas) dengan menonton iklan, dan sayangnya tidak dapat diperpanjang bahkan dengan menonton iklan lagi.


Muka saya sudah sedikit kusut setelah bangun tidur, jadi saya mengunjungi kamar kecil di depan kabin. Kamar kecilnya sendiri berukuran standar dan terasa seperti kamar kecil kelas ekonomi.


Saya tidak sempat melihat kembali pilihan hiburan saat terbang kali ini, tapi apabila pengalaman terbang sebelumnya bisa menjadi patokan, pilihan musiknya terbatas.


Sebelum mendarat saya juga dibagikan handuk basah.

Lampu kabin ikut diredupkan untuk persiapan mendarat.

Saya tidak meminum melatonin untuk penerbangan kali ini, tapi begitu selesai makan saya tidur lagi sampai saya terbangun ketika pesawat mendarat.

Setelah beberapa saat menyusuri bandara, kami tiba di salah satu gerbang di ujung terminal 4.

Saya turun dari pintu depan menuju ke gedung terminal melalui garbarata.

Saya tiba di bandara Los Angeles (LAX) terminal 4, yang merupakan rumah American Airlines di bandara ini.

Sambil menunggu konter check-in penerbangan lanjutan saya dibuka, saya menunggu sejenak di American Airlines Flagship Lounge Los Angeles (LAX). Saya tidak sedang mood mengulasnya, tapi selain perbedaan gaya makanan pada dasarnya tidak berbeda jauh dengan Flagship Lounge di Dallas (DFW).
Saya melanjutkan perjalanan dengan pergi menuju ke area pengambilan bagasi.

Saya tiba di area kedatangan hampir 1 jam setelah saya turun dari pesawat, jadi tas saya sudah disimpan di kantor bagasi.

Koper saya tiba dengan (entah kenapa) dua tag prioritas standar. Koper saya dari Baller masih berfungsi dengan baik bahkan setelah naik turun lebih dari 20 penerbangan.
Dari situ saya pergi ke terminal B untuk check-in penerbangan selanjutnya, Cathay Pacific first class ke Hong Kong (HKG).

Penutup
Anggap saja American Airlines first class transkontinental hanya sebagai “harga” untuk membeli akses Chelsea Lounge, dan Anda tidak akan kecewa.
American Airlines first class transkontinental memang masih merupakan cara terbaik untuk terbang dari ujung ke ujung daratan Amerika Serikat, tapi tidak terasa berbeda sejauh itu dibandingkan dengan kelas bisnis. Selain pelayanan di udara yang tidak terasa personal, kursinya yang seperti kelas bisnis agak bagus membuat 20.000 Asia Miles tambahan yang saya keluarkan terasa hanya seperti untuk membeli akses Chelsea Lounge.
American Airlines sendiri juga sedang menyegarkan armada penerbangan transkontinental dan transatlantik jarak pendek dengan Airbus A321XLR, di mana kursi first class akan ditiadakan dan diubah menjadi kursi kelas bisnis yang bahkan lebih bagus daripada ini. Memang di satu sisi ini berarti semakin sedikit alasan, namun di sisi lain saya juga menyayangkan hilangnya opsi masuk ke Chelsea Lounge dengan menggunakan miles.
Apabila Anda pergi ke Amerika Serikat, jangan lewatkan kesempatan terakhir untuk terbang di first class transkontinental ini sebelum dihapus, walaupun tentunya kelola ekspektasi Anda saat akan terbang dengan produk ini.









