Sempat hampir mati total, industri penerbangan perlahan bangkit dari krisis pandemi COVID-19. Berbagai maskapai penerbangan sudah mulai kembali terbang dan bahkan membuka kembali rute penerbangan internasional. Namun, hingga saat ini masih ada satu pertanyaan besar; seberapa besarkah resiko tertular COVID-19 di pesawat?
Kebetulan, saya menemukan artikel dari Independent UK yang saya anggap cukup menarik. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa menurut International Air Transport Association (IATA), peluang seseorang tertular COVID-19 di pesawat adalah 1 banding 27.000.000 (44 kasus per 1,2 milyar penumpang).
Sebagai perbandingan, peluang seseorang untuk tersambar petir adalah 1 banding 500.000, yang mana 54x lipat lebih tinggi ketimbang tertular COVID-19 di pesawat.
Logiskah?
Saya rasa data tersebut tidak bisa dicerna sepenuhnya karena beberapa alasan:
- Data tersebut hanya menampilkan penerbangan rute internasional. Bisa dikatakan, data tersebut tidak mewakili seluruh penerbangan di dunia meliputi penerbangan domestik di tiap negara
- Data tersebut hanya mewakili penerbangan di periode Januari – Juli 2020
- Tidak ada metode pasti untuk mengetahui berapa banyak orang yang tertular di pesawat
- Monitorisasi intensif pada setiap penumpang dari periode sebelum terbang, saat penerbangan, dan 14 hari setelah penerbangan tidak akan mungkin bisa dilakukan pada setiap penerbangan
Aman untuk dikatakan bahwa data tersebut adalah sekedar estimasi yang sangat jauh dari kenyataan, apalagi jika melihat pernyataan dari IATA berikut ini:
“The risk of a passenger contracting COVID-19 while onboard appears very low. With only 44 identified potential cases of flight-related transmission among 1.2 billion travelers, that’s one case for every 27 million travelers. We recognize that this may be an underestimate but even if 90% of the cases were un-reported, it would be one case for every 2.7 million travelers. We think these figures are extremely reassuring. Furthermore, the vast majority of published cases occurred before the wearing of face coverings inflight became widespread,”
Dr. David Powell, IATA’s Medical Advisor
Ada bagian yang menyebutkan bahwa bisa saja data tersebut hanya mewakili 10% kasus yang dilaporkan. Bila benar demikian, maka resiko penularan akan meningkat menjadi 1 banding 2,7 juta penumpang yang mana sudah benar-benar jauh dari pernyataan awal.
Saya mengerti IATA ingin mengembalikan kepercayaan publik terhadap metode transportasi udara. Namun data ini saya anggap terlalu spekulatif dan bisa memancing persepsi yang salah dari publik.
Baca juga: Studi: Kamar Kecil (Lavatory) adalah Area dengan Resiko Penularan COVID-19 Tertinggi di Pesawat
Amankah Menaiki Pesawat?
Menurut saya, resiko tertular di pesawat tetap ada & nyata dan bahkan jauh lebih tinggi ketimbang yang disebutkan oleh data tersebut. Oleh karena itu, saya merasa setiap orang yang akan terbang tetap harus menanggapi hal ini dengan serius.
Resiko tertular COVID-19 di pesawat bisa diminimalisir apabila setiap penumpang mematuhi protokol kesehatan dengan menggunakan APD setiap saat. Kemudian, sebisa mungkin agar tidak memegang apapun di pesawat bila tidak penting dan rajin menggunakan hand sanitizer.
Untungnya, pesawat penumpang generasi baru juga sudah dilengkapi dengan sistem filtrasi udara HEPA yang diklaim mampu mengurangi resiko penularan di pesawat. Artinya bepergian dengan aman dengan pesawat terbang bukanlah hal yang tidak mungkin.
Kebetulan saya akan kembali terbang di akhir bulan Oktober 2020. Saya pribadi akan menghindari untuk makan/minum dan pergi ke kamar kecil selama penerbangan berdurasi 2 jam+ tersebut.
.
Benar sih, sebisa mungkin jangan sampe buka masker, apalagi untuk makan, beberapa kali terbang minggu lalu, masih banyak banget yang buka masker untuk makan, duh rasanya pengen make masker tebel2 hahahaa
Kalau penerangan international antar benua ,20 jam lebih kan disediakan makan, tidak mungkin orang tidak makan Dan minum
Saya setuju dengan pendapat Vincent